Rabu, 04 Juni 2014

Biografi Imam as-Suyuthi dan Metode Tafsirnya


Biografi Imam Jalaluddin As-Suyuthi


            As-Suyuthi adalah ulama besar dan penulis Islam yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Al-Khudhari As-Suyuthi, yang diberi gelar Jalaluddin atau Abul Fadhl. Ia juga dinamakan Al- Khudhari, karena dinisbahkan kepada Al-Khudhariyah, yaitu nama sebuah tempat di Baghdad. Dan ia terkenal dengan nama As-Suyuthi, dinisbahkan kepada As-Suyuthi, yaitu sebuah tempat asal dan tempat hidup seluruh leluhur serta ayahnya, sebelum berpindah ke Kairo. Ia dilahirkan di Kairo, 1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1445 M.

            As-Suyuthi hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke-15. Ia berasal dari keluarga keturunan Persia yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyut. Keluarga ini termasuk orang terhormat pada masanya, dan ditempatkan pada posisi-posisi penting pemerintahan pada waktu itu. Bapaknya menjadi salah seorang guru fiqh di salah satu madrasah di Kairo. Ketika As-Suyuthi berumur enam tahun ( 855 H/1451 M), ayahnya meninggal dunia, dan ia diasuh oleh seorang sufi, teman dekat ayahnya.

Pendidikan dan Karir As-Suyuthi
            Sebagaimana biasanya anak-anak pada zaman itu, As-Suyuthi memulai pendidikannya dengan pelajaran al-Qur’an dan pendidikan agama lainnya. Dari satu kota, ia pindah ke kota lain untuk menuntut ilmu agama dengan berbagai cabangnya kepada guru-guru yang terkenal saat itu. Pendidikan awal ia peroleh dari ayahnya yang mendidiknya dengan menghafal Al-Qur’an. Ketika ayahnya meninggal dunia dan ia baru berusia enam tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an sampai surat At-Tahrim. Ia telah menghafal Al-Qur’an seluruhnya pada usia kurang dari delapan tahun. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam hafalan, yang selanjutnya menguatkannya untuk menghafal sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) hadis, sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya Tadribur Rawi.
            As-Suyuthi belajar fiqh pada seorang Syaikh yang hidup pada masa itu, yaitu Ilmuddin Al-Bulqaini dan ia tetap belajar padanya hingga sang guru wafat. Semasa hidup Al-Bulqaini, ia telah mengarang sebuah kitab yang berjudul “Syarh Al-Isti’adzah Wa Al-Basmalah”. Kemudian kitab tersebut diperiksa oleh gurunya, Al-Bulqaini, dan ia memujinya serta memberi kata pengantar pada kitab itu.
            Kemudian As-Suyuthi melanjutkan studinya dalam ilmu fiqh Asy-Syafi’i pada putra gurunya (Al-Bulqaini). Dari guru baru inilah ia banyak mempelajari beberapa kitab fiqh madzhab Syafi’i. Setelah itu, ia melanjutkan studinya pada Asy-Syaraf Al-Manawi. Dan ia belajar pada Al-Imam Taqiyuddin as-Subki Al-Hanafi selama empat tahun, selain itu ia juga mempelajari darinya hadis dan bahasa. Selama empat tahun pula, ia belajar Ilmu Ushul dan Tafsir dari seorang pakar ilmu tersebut, yaitu al-Kaafiji. Ia juga mengadakan sejumlah rihlah (lawatan keilmuan), di mana ia berkunjung ke Yaman, Maroko dan India. Ia juga menyibukkan diri untuk memberi fatwa, mengajar fiqh, hadis, nahwu (ilmu tata bahasa Arab) dan bidang-bidang ilmu lainnya.
            Sesudah menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 869 H/ 1463 M, ia kembali ke Kairo untuk mengabdikan ilmu yang ia terima sebelumnya. Semula, ia mengkhususkan diri untuk mengajar masalah-masalah fiqh. Atas kecemerlangannya dalam mengajar, ia diangkat menjadi ustadz di sekolah Asy-Syaikhuniyyah pada tahun 872 H/ 1467 M, berdasarkan rekomendasi dari gurunya, Syekh Al-Bulqaini. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh ayahnya sampai ia meninggal dunia. selama 12 tahun, ia mengabdikan dirinya di sekolah tersebut, lalu pindah mengajar di Al-Baybarsiyyah pada tahun 891 H/ 1486 M. sekolah yang baru ini, menurut pendapatnya dan pendapat umum waktu itu, lebih baik daripada Asy-Syaikhuniyyah. Di sekolah ini, ia juga diangkat menjadi ustadz. Akan tetapi, karena tindakannya tidak disenangi oleh penguasa, As-Suyuthi dibebaskan dari jabatan tersebut pada tahun 906 H/1501 M. Kemudian, ia menetap di Pulau Raudah di Sungai Nil sampai meninggal dunia.

Karya-karya As-Suyuthi
            Selain aktif mengajar ilmu agama Islam, As-Suyuthi juga menulis buku dalam berbagai ilmu. Aktivitas mengarang ini telah dimulai sejak ia berusia 17 tahun. Penguasaannya yang baik atas berbagai cabang ilmu Islam sangat memperlancar penulisan karangan-karangan tersebut. Menurut catatan para sejarawan, buku-bukunya berjumlah 571 buah, baik berupa karya besar dengan jumlah halaman yang banyak, maupun buku-buku kecil dan karangan-karangan singkat. Bahkan, dikatakan bahwa As-Suyuthi sangat berjasa dalam menampilkan kembali manuskrip-manuskrip lama yang pada waktu itu telah dianggap hilang.
            Di antara karangannya yang terkenal yang dianggap sangat penting dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah Tarjuman al-Qur’an fi Tafsir al-Musnad (Kumpulan Hadis yang Berhubungan dengan Ayat-ayat al-Qur’an), Ad-Durr al-Mansur fi Tafsir bil Ma’sur (Mutiara yang Bertebaran dalam Penafsiran Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis) sebanyak enam jilid, Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an (Upaya Mencari Pemahaman Hal-hal yang Sama Mengenai Ayat-ayat yang Tidak Tegas dalam al-Qur’an), Lubab an-Nuqul fi Asbabin Nuzul ( Hal-hal Pokok dalam Persoalan Sebab-sebab Turunnya Ayat al-Qur’an), yang disusun berdasarkan metode al-wahidi, namun membuat pula tambahan materi berdasarkan temuan-temuannya dari tafsir dan hadis, Tafsir al-Jalalain (telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia), penyempurnaan debuah kitab yang ditulis oleh gurunya (Jalaluddin al-Mahalli), Majma’ al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrain, yang menurut para sejarawan mungkin telah hilang atau tidak sempat disempurnakan, dan At-Takhyir fi ‘Ulumit Tafsir, yang kemudian diperluas dengan judul al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
            Adapun buku-bukunya dalam bidang hadis dan ilmu hadis antara lain Jami’ al-Masanid, yang dikenal juga dengan sebutan Jami’ al-Jawami’ dan Al-Jami’ al-Kabir, Al-jami’ ash-Shaghir fil Hadits al-Basyir an-Nadzir, ikhtisar dari kitab hadis tersebut pertama, Minhajul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wal Af”al, Kanzul ‘Ummal fi Subut Sunan al-Aqwal wa al-Af’al (8 jilid), Al-Khasa’ish an-Nabawiyyah, sebuah buku tentang sifat-sifat Nabi Muhammad saw, At-Ta’qibat ‘ala al-Mawjudat, yang memuat masalah-masalah kritik hadis, kemudian disempurnakan dengan judul Al-La’I al-Masnu’ah fil Ahadis al-Maudi’ah.
            Di bidang bahasa dan sastra Arab, As-Suyuthi juga menulis bebrapa buku, di antaranya Al-Mazhhar fi ‘Ulumil Lughah (ringkasnnya ditulis dengan judul Samar al-Mazhhar), dan Al-Iqtirah fi ‘Ilm Ushulin Nahwi wa Jidalih. Ia juga menulis tentang ilmu nahwu dengan metode fiqh dalam buku Al-Asybah wa an-Nazha-ir fin Nahwi. Pada kesempatan lain, ia mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang permulaan ilmu nahwu dalam Al-Akhbar al-Marwiyyah fi Sabab Wad’il ‘Arabiyyah. Kemudian, ia juga mengomentari kitab Alfiyah Ibnu Malik dengan judul Al-Bahjah al-Murdiyyah. Kitab lainnya adalah Al-Faridah fin Nahwi wat Tashrif wal Khath.
            Dalam bidang-bidang lain, As-Suyuthi juga memiliki banyak karangan. Dalam bidang sejarah, ia menulis Bada’i az-Zuhair Waqa’id Duhur, Tarikh al-Khulafa’, dan Husnul Muhadharah fi Akhbar Mishr wal Qahirah. Kemudian, dalam bidang sastra, terdapat karangannya berjudul Maqamat, Anis al-Jalis, dan lain sebaginya. Selanjutnya, ia juga diketahui menulis buku-buku yang berhubungan dengan hari akhirat, kubur, dan alam barzah. Di antaranya adalah At-Tadzkirah bi-ahwalil Maut wa Ahwalil Akhirah, yang kemudian disyarah dengan judul Syarah Sudur bi Syarhi Halil Mauta wal Qubur, At-Tasbit ‘indat Tanbih, serta Kiab ad-Durar al-Hisan dan Al-Hisan fil Ba’si wa Na’im al-Jinan. Bukunya yang terkenal dalam bidang kaidah fiqh adalah Al-Asybah wan Nazha-ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’i. Dalam kitab ini, secara gambling dengan contoh-contoh penerapan , ia berusaha menjelaskan kandungan al-Qawa’id al-Khamsah (lima kaidah) yang berlaku dalam madzhab Syafi’i.
           
Pujian Para Ulama terhadap As-Suyuthi
            Ibnu Ammar Al-Hambali pernah memujinya dengan perkataannya: “Beliau adalah sandaran peneliti yang cermat, juga mempunyai banyak karangan yang unggul dan bermanfaat”.
            Asy-Syaukani juga pernah memuji beliau dengan perkataannya: “Beliau adalah seorang imam besar dalam masalah Al-Kitab dan As-Sunnah, yang mengetahui ilmu-ilmu ijtihad dengan sangat luas, juga memiliki pengetahuan yang memisahkan diri dari pengetahuan ijlihad”. Asy-Syaukani berkata lagi tentang As-Suyuthi: “Beliau terkenal menguasai semua disiplin ilmu (agama), melampaui teman-temannya dan namanya terkenal di mana-mana dengan sebutan yang baik dan beliau juga telah mengarang kitab-kitab yang, berguna”.

Metode Penafsiran As-suyuthi
            Imam as-Suyuthi menggunakan beberapa metode yang berbeda pada tiap kitab tafsirnya. Sebut saja dalam kitab Durr al-Matsur dan Tafsir jalalain.         
            Di dalam kitab Durr al-Mantsur semuanya memuat riwayat-riwayat yang ma’tsur. Dalam tafsir bi al-Ma’tsur, as-Suyuthi mengambil riwayat-riwayat tersebut dari berbagai kitab-kitab hadis, mulai dari shahih, sunan dan musnad, dan juga dari mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in. seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain.
            Senada dengan namanya, karya tafsir as-Suyuthi tergolong bi al-Ma’tsur karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun sahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadis dan tafsir. Sistematika tafsir ini mengikuti tartib mushhaf. Pada awal pemahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis.         
            Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bi al-ma’tsur. Dalam menyusun tafsirnya, Imam Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut:
  1. Beliau di dalam tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak menjelaskan atau mengkritik riwayat-riwayat tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.
  2. Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad).
  3. Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau pendapat-pendapat yang menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan riwayat-riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat.
            Adapun dalam kitab Tafsir Jalalain metode tafsir yang digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain ini adalah tafsir bi al-ra’yi, artinya menafsirkan al-Quran berdasarkan pada ra’yu (pemikiran). Sebagai contoh adalah dalam surat an-Naba’. Metode seperti ini secara khusus dalam surat an-Naba diturunkan ke dalam teknis penafsirannya menjadi tiga cara, yaitu : memberi penafsiran untuk memperjelas ayat yang kalimatnya terlalu singkat, atau struktur bahasanya rumit, seperti menafsirkan kata ‘amma’ ( عم ) pada ayat pertama surat an-Naba dengan عن أي شيئ  , memberi penafsiran untuk menafsirkan suatu kata yang terdapat dalam suatu ayat seperti kata مهاد  pada ayat ke-6 pada surat an-naba yang difasirkan dengan kata  فراش, dan memberi penafsiran untuk memperjelas struktur kalimat dari segi kaidah bahasanya.
            Pada ayat pertama dari surat an-Naba, yaitu عَمَّ  يَتَسَاءَلُونَ  , Jalaluddin al-Suyuthi memilih dua macam makna dalam memberikan penafsirannya. Pada kata عَمَّ ,Jalaluddin al-Suyuthi memberi penafsiran dengan kata  عن أي شيئ .Kalau melihat arti dari kedua kata ini (kata dalam al-Quran dan kata dalam tafsirnya). Kata  عَمَّdalam al-Quran merupakan gabungan dari dua kata, yaitu عن  dan ما. Dalam makna denotative (makna kamus), kata عن  mempunyai arti “dari” , dan kata ما mempunyai arti “sesuatu” .
            Memperhatikan cara penafsiran Jalaluddin al-Suyuthi pada ayat pertama surat an-Naba ini, ketika kata “amma” ( عم )  ditafsirkan dengan kata “an ayyi syain” ( عن أي شيئ ) adalah memberikan penafsiran dengan makna makna denotative, yaitu makna yang terdapat dalam kamus.
            Cara seperti ini banyak dilakukan oleh Jalaluddin al Suyuthi untuk menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat 1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35 dan 39 dalam surat an-Naba ini. Khusus pada ayat ke-39, ada dua cara yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk menafsir dua kata yang berbeda pada ayat itu, yaitu “yaum al-haq”( يوم الحق ) dan “maaba” ( مأبا ). Kata يوم الحق  ditafsirkan dengan” الثابت وقوعه وهو يوم القيامة “ (terjemahnya :“yang kejadiaannya pasti adanya yaitu hari kiamat”). Dan kata مأبا “ ditafsirkan dengan kata “marja’a” ( مرجعا ) yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah “tempat kembali”.
            Kata “ يوم الحق “ dalam al-Quran ditafsirkan dengan ” يوم القيامة. Cara seperti ini adalah cara memberi makna dengan medan makna. Kata “al-Haq” dalam “yaum al-Haq”  mempunyai makna denotative “kebenaran” atau “ketepatan”. Makna ini adalah makna  luas (generik). Di dalam makna “kebenaran” atau “ketepatan” terdapat makna “benar/tepat waktu”,  “benar/tepat tempat”, “benar/tepat kejadian” dan yang lainnya. Maka pemberian penafsiran “hari kiamat” terhadap “hari kebenaran” adalah memberi makna spesifik dari suatu makna yang luas. Apakah mungkin ada makna lain dari “yaum al-Haq” selain dari “hari kiamat” ? jawabannya sangat mungkin, tetapi makna ini dipilih karena ada alasan lain yang mendukung kearah ini, yaitu konteks tema dari surat an-Naba yang secara umum isi pokok kandungannya adalah tentang bantahan atas keraguan kaum kafir Quraisy terhadap hari kebangkitan.
            Masih pada ayat ke-39, Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata “ma’aba” dengan kata “marja’a.” Antara kata “ma’aba” dengan kata “marja’a” mempunyai makna yang sama dan pola kata yang sama, sehingga kata “ma’aba” dengan kata “marja’a” bersifat sinonim, yaitu dua kata yang mempunyai arti yang sama.
            Berbeda dengan pada kata berikutnya, yaitu pada kata يتسألون, Jalaluddin al-Suyuthi memberi penafsiran dengan يسألبعض قريش بعضا. Pada kata  يتسألون  terdapat kata ganti (dlamir) “hum” ( هم ) yang tersembunyi yang mempunyai arti “mereka”. Kata ganti yang menunjuk kepada “mereka” ini dalam al-Quran ditafsirkan dengan kata “بعض قريش بعضا “ yang berarti “sebagian Quraisy dengan Quraisy yang lainnya”. Ketika Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata ganti “hum” (mereka) dengan kata “ba’du qurays ba’da” (sebagian Quraisy dengan Quraisy lainnya)¸ sudah menggunakan makna referensial. Kata ganti “hum” mereferensi kepada orang-orang Quraisy pada waktu al-Quran (khususnya ayat pertama surat an-Naba ini) diturunkan. Referen ini didukung oleh adanya  kenyataan bahwa surat an-Naba termasuk kepada surat Makiyyah dalam pengertian surat yang diturunkan di Makkah. Dan orang-orang Quraisy adalah salah satu kabilah yang ada di kota Makkah.      
            Makna referensial juga digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan ayat kedua yang berbunyi عَنِ النبإ العظيم  . Kata-kata dalam ayat ini ditafsirkan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dengan kata-kata sebagai berikut : وهو ما جاء به النبي صلى الله عليه وسلم من القرآن المشتمل على البعث وغيره. Jika kata-kata ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kata-kata dalam al-Quran-nya sebagai berikut : “dari berita yang agung”, kemudian ditafsirkan menjadi “adalah sesuatu yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu al-Quran yang mencakup berita kebangkitan dan yang lainnya”.
            Ketika kata “berita yang agung” ditafsirkan menjadi “al-Quran”, dalam pandangan semantic, berarti Jalaluddin al-Suyuthi mengambil makna referensial untuk memberi makna “berita yang agung”. Secara referensial, berita yang agung yang berkaitan dengan Muhammad sebagai rasul adalah al-Quran. Cara Jalaluddin al-Suyuthi memberi makna dengan makna referensial juga terdapat dalam menafsirkan kata-kata al-Quran yang terdapat pada ayat 2,3,4,5,30,34,38 dan 40.
            Macam makna lain yang yang digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan al-Quran ini adalah dengan makna idesional atau makna konseptual. Macam makna seperti ini terdapat dalam menafsirkan kata-kata al-Quran yang terdapat pada ayat 8,14 dan 17. Pada ayat ke-8 ada satu kata yang ditafsirkan dengan makna konseptual, yaitu kata “azwaja” ( أزواجا ) yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “berpasangan”. Kata “azwaja” ini ditafsirkan dengan kata “dzukur wa inats”( ذكورا و إناثا ) yang diterjemahkan  kedalam bahasa Indonesia “laki-laki dan perempuan”. Kata “laki-laki dan perempuan” sebagai penafsiran dari kata “berpasangan” adalah merupakan makna konseptual. Sehingga kalau ditanyakan “apa itu berpasangan?”, bisa dijawab dengan “laki-laki dan perempuan”.
            Macam makna yang lain adalah makna gramatikal. Macam makna ini digunakan dalam menafsirkan kata-kata pada ayat 11,12,13,27,36 dan 37. Pada ayat ke-11 diantaranya, Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata “ma’asya” ( معاشا ) dengan “waqtan lil ma’ayisy” ( وقتا للمعايش ). Dalam gramatika bahasa Arab, kata “ma’asya” ( معاشا ) adalah bentuk isim zaman ( اسم الزمان) dari kata “’aisy” ( عيش ) yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya “kehidupan”. Yang dimaksud dengan isim zaman adalah suatu bentuk kata benda yang menunjukkan kepada arti waktu. Maka, dalam proses gramatika seperti ini, adalah makna gramatika ketika kata “ma’asya” ditafsirkan menjadi “waqtan lil ma’ayisy” dengan terjemahan “waktu untuk mencari kehidupan”.
            Makna yang lain yang juga digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya adalam makna sempit. Makna ini dipilihnya dalam menafsirkan ayat ke-15 dan 29. Pada ayat ke-15, Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata “habba” ( حبا ) dengan “ka al-hinthoh” ( كالحنطة ) dan kata “nabata” ( نباتا ) dengan “ ka al-tin”( كالتين ).
            Dalam terjemahannya  bahasa Indonesianya, kata “habba” diterjemahkan dengan “biji”, dan kata “hinthoh” diterjemahkan dengan “biji gandum”. Pada dasarnya, kata “habba” (biji) adalah kata yang mempunyai makna luas (generik) yaitu semua kelompok biji-bijian. Adapun kata “hinthoh” (biji gandum) adalah kata yang mempunyai makna sempit (spesifik), yaitu biji gandum. Jadi, cara member penafsiran dengan kata “biji gandum” terhadap kata “biji-bijian” adalah dengan memilih makna sempit (spesifik) dari makna yang luas (generik).
            Begitu juga pada kata “nabata” yang ditafsirkan  dengan kata “ al-tin”. Pada dasarnya, kata “nabata” adalah kata yang mempunyai makna luas, yaitu “tumbuh-tumbuhan”, sementara kata “al-tin” hanya spesifik sautu macam tumbuhan yang bernama al-tin. Cara ini sama dengan cara ketika Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata “biji-bijian” dengan “biji gandum”, yaitu memberi makna sempit terhadap makna yang luas.
            Pada macam makna kognitif atau makna denotative, seperti yang digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk menafsirkan ayat 1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35, dan 39, hubungan maknanya secara keseluruhan bersifat sinonim (murodif). Artinya, kata-kata yang digunakan sebagai tafsir mempunyai makna yang sama dengan kata-kata dalam al-Qurannya. Dalam hal ini, makna yang terkandung dalam kata-kata al-Quran bisa tercakup oleh kata-kata dalam tafsirnya. Hubungan antar dua kata seperti ini membentuk hubungan sinonim, yaitu kata-kata yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama.
            Pada pemilihan makna referensial, hubungan makna antara kata dalam al-Quran dengan kata-kata dalam tafsirnya bersifat subjektif. Artinya, bahwa pemilihan referensi yang ditunjuk oleh kata-kata dalam al-Quran tergantung kepada konteks penerima dan situasi kata-kata itu disampaikan, sehingga sangat mungkin terjadi ada referensi lain dari kata-kata tersebut apabila kata-kata itu diterima oleh konteks penerima dan situasi yang berbeda.
            Pada makna konseptual yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk manafsirkan ayat 8, terdapat hubungan pembatasan. Makna konseptual adalah makna yang muncul diakibatkan karena suatu kata yang mempunyai konsep. Pada ayat 8 ini, kata yang mempunyai makna konseptual adalah kata “berpasangan”. Dan kata “berpasangan” ini oleh Jalaluddin al-Suyuthi didefiniskan sebagai pasangan lelaki dan perempuan. Pasangan lelaki dan perempuan ini hanya merupakan pembatasan dari makna pasangan, yang sangat mungkin ada pasangan-pasangan lainnya.         
            Hubungan makna gramatikal adalah bersifat kesemestian. Karena proses gramatika bahasa adalah sifat alamiahnya suatu bahasa yang sudah mempunyai kaidah yang baku dalam suatu bahasa. Seperti tafsiran dari kata “ma’asya” ( معاشا ) yang merupakan bentuk kata isim zaman ( اسم الزمان ), dengan kata “waqtun lil ma’ayisy” ( وقت للمعايش ) adalah hubungan makna kesemestian karena proses perubahan pola kata.
            Adapun hubungan makna luas dengan makna sempit seperti yang dipakai oleh mufassir (Jalaluddin al-Suyuthi) dalam menafsirkan ayat ke-15 dalam surat an-Naba ini, bersifat memberikan contoh. Artinya, ketika al-Quran menyebutkan “biji-bijian”, sebagai salah satu contoh dari biji-bijian itu adalah gandum. Juga, ketika al-Quran menyebut “tanaman”, sebagai contoh dari tanaman adalah al-tin. Makna yang dipilih dalam penafsiran seperti ini tidak membatasi keluasan makna kata yang ada dalam al-Qurannya, sehingga sangat mungkin justru makna itu mencakup semua makna yang terkandung dalam keluasan makna kata tersebut.

Wafatnya
            Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadil Awal tahun 911 H. Sebelumnya ia menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Beliau dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Kairo.




1 komentar:

  1. Lucky Club | Lucky Club Live Casino - Online casinos
    Lucky Club Casino is the new online casino site from Lucky Club. Try a 카지노사이트luckclub free registration bonus, a 100% up to €/€ 1,000 bonus.

    BalasHapus