Biografi
Imam Jalaluddin As-Suyuthi
As-Suyuthi adalah ulama besar dan
penulis Islam yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Nama lengkapnya adalah
Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Al-Khudhari As-Suyuthi, yang
diberi gelar Jalaluddin atau Abul Fadhl. Ia juga dinamakan Al- Khudhari, karena
dinisbahkan kepada Al-Khudhariyah, yaitu nama sebuah tempat di Baghdad. Dan ia
terkenal dengan nama As-Suyuthi, dinisbahkan kepada As-Suyuthi, yaitu sebuah
tempat asal dan tempat hidup seluruh leluhur serta ayahnya, sebelum berpindah
ke Kairo. Ia dilahirkan di Kairo, 1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1445 M.
As-Suyuthi hidup pada masa Dinasti
Mamluk pada abad ke-15. Ia berasal dari keluarga keturunan Persia yang semula
bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyut. Keluarga ini termasuk orang
terhormat pada masanya, dan ditempatkan pada posisi-posisi penting pemerintahan
pada waktu itu. Bapaknya menjadi salah seorang guru fiqh di salah satu madrasah
di Kairo. Ketika As-Suyuthi berumur enam tahun ( 855 H/1451 M), ayahnya
meninggal dunia, dan ia diasuh oleh seorang sufi, teman dekat ayahnya.
Pendidikan dan Karir As-Suyuthi
Sebagaimana biasanya anak-anak pada
zaman itu, As-Suyuthi memulai pendidikannya dengan pelajaran al-Qur’an dan
pendidikan agama lainnya. Dari satu kota, ia pindah ke kota lain untuk menuntut
ilmu agama dengan berbagai cabangnya kepada guru-guru yang terkenal saat itu. Pendidikan
awal ia peroleh dari ayahnya yang mendidiknya dengan menghafal Al-Qur’an.
Ketika ayahnya meninggal dunia dan ia baru berusia enam tahun, ia telah menghafal
Al-Qur’an sampai surat At-Tahrim. Ia telah menghafal Al-Qur’an seluruhnya pada
usia kurang dari delapan tahun. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam hafalan,
yang selanjutnya menguatkannya untuk menghafal sebanyak 200.000 (dua ratus
ribu) hadis, sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya Tadribur Rawi.
As-Suyuthi belajar fiqh pada seorang
Syaikh yang hidup pada masa itu, yaitu Ilmuddin Al-Bulqaini dan ia tetap
belajar padanya hingga sang guru wafat. Semasa hidup Al-Bulqaini, ia telah
mengarang sebuah kitab yang berjudul “Syarh Al-Isti’adzah Wa Al-Basmalah”.
Kemudian kitab tersebut diperiksa oleh gurunya, Al-Bulqaini, dan ia memujinya
serta memberi kata pengantar pada kitab itu.
Kemudian As-Suyuthi melanjutkan
studinya dalam ilmu fiqh Asy-Syafi’i pada putra gurunya (Al-Bulqaini). Dari
guru baru inilah ia banyak mempelajari beberapa kitab fiqh madzhab Syafi’i.
Setelah itu, ia melanjutkan studinya pada Asy-Syaraf Al-Manawi. Dan ia belajar
pada Al-Imam Taqiyuddin as-Subki Al-Hanafi selama empat tahun, selain itu ia
juga mempelajari darinya hadis dan bahasa. Selama empat tahun pula, ia belajar
Ilmu Ushul dan Tafsir dari seorang pakar ilmu tersebut, yaitu al-Kaafiji. Ia
juga mengadakan sejumlah rihlah (lawatan keilmuan), di mana ia berkunjung ke
Yaman, Maroko dan India. Ia juga menyibukkan diri untuk memberi fatwa, mengajar
fiqh, hadis, nahwu (ilmu tata bahasa Arab) dan bidang-bidang ilmu lainnya.
Sesudah menunaikan ibadah haji ke
Makkah pada tahun 869 H/ 1463 M, ia kembali ke Kairo untuk mengabdikan ilmu
yang ia terima sebelumnya. Semula, ia mengkhususkan diri untuk mengajar
masalah-masalah fiqh. Atas kecemerlangannya dalam mengajar, ia diangkat menjadi
ustadz di sekolah Asy-Syaikhuniyyah pada tahun 872 H/ 1467 M, berdasarkan
rekomendasi dari gurunya, Syekh Al-Bulqaini. Sebelumnya, jabatan ini dipegang
oleh ayahnya sampai ia meninggal dunia. selama 12 tahun, ia mengabdikan dirinya
di sekolah tersebut, lalu pindah mengajar di Al-Baybarsiyyah pada tahun 891 H/
1486 M. sekolah yang baru ini, menurut pendapatnya dan pendapat umum waktu itu,
lebih baik daripada Asy-Syaikhuniyyah. Di sekolah ini, ia juga diangkat menjadi
ustadz. Akan tetapi, karena tindakannya tidak disenangi oleh penguasa,
As-Suyuthi dibebaskan dari jabatan tersebut pada tahun 906 H/1501 M. Kemudian,
ia menetap di Pulau Raudah di Sungai Nil sampai meninggal dunia.
Karya-karya As-Suyuthi
Selain aktif mengajar ilmu agama
Islam, As-Suyuthi juga menulis buku dalam berbagai ilmu. Aktivitas mengarang
ini telah dimulai sejak ia berusia 17 tahun. Penguasaannya yang baik atas
berbagai cabang ilmu Islam sangat memperlancar penulisan karangan-karangan
tersebut. Menurut catatan para sejarawan, buku-bukunya berjumlah 571 buah, baik
berupa karya besar dengan jumlah halaman yang banyak, maupun buku-buku kecil
dan karangan-karangan singkat. Bahkan, dikatakan bahwa As-Suyuthi sangat
berjasa dalam menampilkan kembali manuskrip-manuskrip lama yang pada waktu itu
telah dianggap hilang.
Di antara karangannya yang terkenal
yang dianggap sangat penting dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah Tarjuman
al-Qur’an fi Tafsir al-Musnad (Kumpulan Hadis yang Berhubungan dengan
Ayat-ayat al-Qur’an), Ad-Durr al-Mansur fi Tafsir bil Ma’sur (Mutiara
yang Bertebaran dalam Penafsiran Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis) sebanyak enam
jilid, Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an (Upaya Mencari Pemahaman
Hal-hal yang Sama Mengenai Ayat-ayat yang Tidak Tegas dalam al-Qur’an), Lubab
an-Nuqul fi Asbabin Nuzul ( Hal-hal Pokok dalam Persoalan Sebab-sebab
Turunnya Ayat al-Qur’an), yang disusun berdasarkan metode al-wahidi,
namun membuat pula tambahan materi berdasarkan temuan-temuannya dari tafsir dan
hadis, Tafsir al-Jalalain (telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia),
penyempurnaan debuah kitab yang ditulis oleh gurunya (Jalaluddin al-Mahalli), Majma’
al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrain, yang menurut para sejarawan mungkin telah
hilang atau tidak sempat disempurnakan, dan At-Takhyir fi ‘Ulumit Tafsir,
yang kemudian diperluas dengan judul al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
Adapun
buku-bukunya dalam bidang hadis dan ilmu hadis antara lain Jami’ al-Masanid,
yang dikenal juga dengan sebutan Jami’ al-Jawami’ dan Al-Jami’
al-Kabir, Al-jami’ ash-Shaghir fil Hadits al-Basyir an-Nadzir,
ikhtisar dari kitab hadis tersebut pertama, Minhajul ‘Ummal fi Sunan
al-Aqwal wal Af”al, Kanzul ‘Ummal fi Subut Sunan al-Aqwal wa al-Af’al
(8 jilid), Al-Khasa’ish an-Nabawiyyah, sebuah buku tentang sifat-sifat
Nabi Muhammad saw, At-Ta’qibat ‘ala al-Mawjudat, yang memuat
masalah-masalah kritik hadis, kemudian disempurnakan dengan judul Al-La’I
al-Masnu’ah fil Ahadis al-Maudi’ah.
Di bidang bahasa dan sastra Arab,
As-Suyuthi juga menulis bebrapa buku, di antaranya Al-Mazhhar fi ‘Ulumil
Lughah (ringkasnnya ditulis dengan judul Samar al-Mazhhar), dan Al-Iqtirah
fi ‘Ilm Ushulin Nahwi wa Jidalih. Ia juga menulis tentang ilmu nahwu dengan
metode fiqh dalam buku Al-Asybah wa an-Nazha-ir fin Nahwi. Pada
kesempatan lain, ia mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang permulaan ilmu
nahwu dalam Al-Akhbar al-Marwiyyah fi Sabab Wad’il ‘Arabiyyah. Kemudian,
ia juga mengomentari kitab Alfiyah Ibnu Malik dengan judul Al-Bahjah
al-Murdiyyah. Kitab lainnya adalah Al-Faridah fin Nahwi wat Tashrif wal
Khath.
Dalam
bidang-bidang lain, As-Suyuthi juga memiliki banyak karangan. Dalam bidang
sejarah, ia menulis Bada’i az-Zuhair Waqa’id Duhur, Tarikh
al-Khulafa’, dan Husnul Muhadharah fi Akhbar Mishr wal Qahirah.
Kemudian, dalam bidang sastra, terdapat karangannya berjudul Maqamat, Anis
al-Jalis, dan lain sebaginya. Selanjutnya, ia juga diketahui menulis
buku-buku yang berhubungan dengan hari akhirat, kubur, dan alam barzah. Di
antaranya adalah At-Tadzkirah bi-ahwalil Maut wa Ahwalil Akhirah, yang
kemudian disyarah dengan judul Syarah Sudur bi Syarhi Halil Mauta wal Qubur,
At-Tasbit ‘indat Tanbih, serta Kiab ad-Durar al-Hisan dan Al-Hisan
fil Ba’si wa Na’im al-Jinan. Bukunya yang terkenal dalam bidang kaidah fiqh
adalah Al-Asybah wan Nazha-ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’i.
Dalam kitab ini, secara gambling dengan contoh-contoh penerapan , ia berusaha
menjelaskan kandungan al-Qawa’id al-Khamsah (lima kaidah) yang berlaku
dalam madzhab Syafi’i.
Pujian Para Ulama terhadap As-Suyuthi
Ibnu Ammar Al-Hambali pernah memujinya
dengan perkataannya: “Beliau adalah sandaran peneliti yang cermat, juga
mempunyai banyak karangan yang unggul dan bermanfaat”.
Asy-Syaukani juga pernah memuji
beliau dengan perkataannya: “Beliau adalah seorang imam besar dalam masalah
Al-Kitab dan As-Sunnah, yang mengetahui ilmu-ilmu ijtihad dengan sangat luas,
juga memiliki pengetahuan yang memisahkan diri dari pengetahuan ijlihad”. Asy-Syaukani
berkata lagi tentang As-Suyuthi: “Beliau terkenal menguasai semua disiplin ilmu
(agama), melampaui teman-temannya dan namanya terkenal di mana-mana dengan
sebutan yang baik dan beliau juga telah mengarang kitab-kitab yang, berguna”.
Metode Penafsiran As-suyuthi
Imam
as-Suyuthi menggunakan beberapa metode yang berbeda pada tiap kitab tafsirnya.
Sebut saja dalam kitab Durr al-Matsur dan Tafsir jalalain.
Di dalam kitab Durr al-Mantsur
semuanya memuat riwayat-riwayat yang ma’tsur. Dalam tafsir bi al-Ma’tsur,
as-Suyuthi mengambil riwayat-riwayat tersebut dari berbagai kitab-kitab hadis,
mulai dari shahih, sunan dan musnad, dan juga dari mushannaf-mushannaf yang
menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in. seperti Mushannaf
Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang
bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir,
Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain.
Senada dengan namanya, karya tafsir
as-Suyuthi tergolong bi al-Ma’tsur karena secara keseluruhan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun sahabat yang
dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadis dan tafsir. Sistematika tafsir ini
mengikuti tartib mushhaf. Pada awal pemahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak
dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul dan
riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sahabat berkenaan
dengan ayat-ayat secara sistematis.
Metode yang digunakan dalam
penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bi al-ma’tsur. Dalam
menyusun tafsirnya, Imam Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari
lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam
as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut:
- Beliau di dalam
tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan
kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain
riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak
menjelaskan atau mengkritik riwayat-riwayat tersebut, yang menurut
pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-kitab yang
ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal,
serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari,
Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi
Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.
- Dalam
riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi
ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad).
- Pada penafsirannya
as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan
riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan
pemikiran pribadinya atau pendapat-pendapat yang menguatkan periwayatan
tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir.
Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-Ma’tsur
lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari
sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain seperti
aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim
digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan
riwayat-riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan
redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat.
Adapun
dalam kitab Tafsir Jalalain metode tafsir yang digunakan oleh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain ini adalah tafsir bi al-ra’yi, artinya
menafsirkan al-Quran berdasarkan pada ra’yu (pemikiran). Sebagai contoh adalah
dalam surat an-Naba’. Metode seperti ini secara khusus dalam surat an-Naba
diturunkan ke dalam teknis penafsirannya menjadi tiga cara, yaitu : memberi
penafsiran untuk memperjelas ayat yang kalimatnya terlalu singkat, atau
struktur bahasanya rumit, seperti menafsirkan kata ‘amma’ ( عم ) pada ayat pertama surat an-Naba dengan عن
أي شيئ , memberi
penafsiran untuk menafsirkan suatu kata yang terdapat dalam suatu ayat seperti
kata مهاد pada ayat ke-6 pada surat an-naba yang
difasirkan dengan kata فراش, dan memberi penafsiran untuk memperjelas struktur kalimat dari
segi kaidah bahasanya.
Pada
ayat pertama dari surat an-Naba, yaitu عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ , Jalaluddin al-Suyuthi memilih dua macam
makna dalam memberikan penafsirannya. Pada kata عَمَّ ,Jalaluddin al-Suyuthi memberi
penafsiran dengan kata عن
أي شيئ .Kalau melihat arti dari kedua kata ini
(kata dalam al-Quran dan kata dalam tafsirnya). Kata عَمَّdalam
al-Quran merupakan gabungan dari dua kata, yaitu عن dan ما. Dalam makna denotative (makna kamus), kata عن mempunyai arti “dari” ,
dan kata ما
mempunyai arti “sesuatu” .
Memperhatikan cara penafsiran
Jalaluddin al-Suyuthi pada ayat pertama surat an-Naba ini, ketika kata “amma”
( عم
) ditafsirkan dengan kata “an ayyi
syain” ( عن أي شيئ ) adalah memberikan penafsiran dengan makna makna denotative,
yaitu makna yang terdapat dalam kamus.
Cara seperti ini banyak dilakukan
oleh Jalaluddin al Suyuthi untuk menafsirkan kata-kata yang terdapat pada ayat
1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35 dan 39 dalam surat an-Naba ini.
Khusus pada ayat ke-39, ada dua cara yang dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuthi
untuk menafsir dua kata yang berbeda pada ayat itu, yaitu “yaum al-haq”(
يوم الحق
) dan “maaba” ( مأبا ). Kata يوم الحق ditafsirkan dengan” الثابت
وقوعه وهو يوم القيامة “ (terjemahnya :“yang kejadiaannya
pasti adanya yaitu hari kiamat”). Dan kata “مأبا “ ditafsirkan dengan kata “marja’a” ( مرجعا ) yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah “tempat kembali”.
Kata “ يوم
الحق “ dalam al-Quran ditafsirkan dengan ” يوم
القيامة”. Cara seperti
ini adalah cara memberi makna dengan medan makna. Kata “al-Haq” dalam “yaum
al-Haq” mempunyai makna denotative “kebenaran”
atau “ketepatan”. Makna ini adalah makna
luas (generik). Di dalam makna “kebenaran” atau “ketepatan” terdapat
makna “benar/tepat waktu”, “benar/tepat
tempat”, “benar/tepat kejadian” dan yang lainnya. Maka pemberian penafsiran
“hari kiamat” terhadap “hari kebenaran” adalah memberi makna spesifik dari
suatu makna yang luas. Apakah mungkin ada makna lain dari “yaum al-Haq”
selain dari “hari kiamat” ? jawabannya sangat mungkin, tetapi makna ini dipilih
karena ada alasan lain yang mendukung kearah ini, yaitu konteks tema dari surat
an-Naba yang secara umum isi pokok kandungannya adalah tentang bantahan atas
keraguan kaum kafir Quraisy terhadap hari kebangkitan.
Masih pada ayat ke-39, Jalaluddin
al-Suyuthi menafsirkan kata “ma’aba” dengan kata “marja’a.”
Antara kata “ma’aba” dengan kata “marja’a” mempunyai makna yang
sama dan pola kata yang sama, sehingga kata “ma’aba” dengan kata “marja’a”
bersifat sinonim, yaitu dua kata yang mempunyai arti yang sama.
Berbeda dengan pada kata berikutnya,
yaitu pada kata يتسألون, Jalaluddin al-Suyuthi memberi penafsiran dengan يسألبعض
قريش بعضا. Pada kata
يتسألون terdapat kata ganti (dlamir) “hum” ( هم ) yang tersembunyi yang mempunyai arti “mereka”. Kata ganti
yang menunjuk kepada “mereka” ini dalam al-Quran ditafsirkan dengan kata “بعض
قريش بعضا “ yang berarti “sebagian Quraisy dengan
Quraisy yang lainnya”. Ketika Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata ganti “hum”
(mereka) dengan kata “ba’du qurays ba’da” (sebagian Quraisy dengan
Quraisy lainnya)¸ sudah menggunakan makna referensial. Kata ganti “hum”
mereferensi kepada orang-orang Quraisy pada waktu al-Quran (khususnya ayat
pertama surat an-Naba ini) diturunkan. Referen ini didukung oleh adanya kenyataan bahwa surat an-Naba termasuk kepada
surat Makiyyah dalam pengertian surat yang diturunkan di Makkah. Dan
orang-orang Quraisy adalah salah satu kabilah yang ada di kota Makkah.
Makna referensial juga digunakan
oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan ayat kedua yang berbunyi عَنِ
النبإ العظيم .
Kata-kata dalam ayat ini ditafsirkan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dengan
kata-kata sebagai berikut : وهو ما جاء به النبي
صلى الله عليه وسلم من القرآن المشتمل على البعث وغيره.
Jika kata-kata ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kata-kata dalam
al-Quran-nya sebagai berikut : “dari berita yang agung”, kemudian
ditafsirkan menjadi “adalah sesuatu yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu
al-Quran yang mencakup berita kebangkitan dan yang lainnya”.
Ketika kata “berita yang agung”
ditafsirkan menjadi “al-Quran”, dalam pandangan semantic, berarti Jalaluddin
al-Suyuthi mengambil makna referensial untuk memberi makna “berita yang agung”.
Secara referensial, berita yang agung yang berkaitan dengan Muhammad sebagai
rasul adalah al-Quran. Cara Jalaluddin al-Suyuthi memberi makna dengan makna
referensial juga terdapat dalam menafsirkan kata-kata al-Quran yang terdapat
pada ayat 2,3,4,5,30,34,38 dan 40.
Macam makna lain yang yang digunakan
oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam menafsirkan al-Quran ini adalah dengan makna
idesional atau makna konseptual. Macam makna seperti ini terdapat dalam
menafsirkan kata-kata al-Quran yang terdapat pada ayat 8,14 dan 17. Pada ayat
ke-8 ada satu kata yang ditafsirkan dengan makna konseptual, yaitu kata “azwaja”
( أزواجا
) yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “berpasangan”. Kata
“azwaja” ini ditafsirkan dengan kata “dzukur wa inats”( ذكورا
و إناثا ) yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia “laki-laki dan
perempuan”. Kata “laki-laki dan perempuan” sebagai penafsiran dari kata
“berpasangan” adalah merupakan makna konseptual. Sehingga kalau ditanyakan “apa
itu berpasangan?”, bisa dijawab dengan “laki-laki dan perempuan”.
Macam makna yang lain adalah makna
gramatikal. Macam makna ini digunakan dalam menafsirkan kata-kata pada ayat
11,12,13,27,36 dan 37. Pada ayat ke-11 diantaranya, Jalaluddin al-Suyuthi
menafsirkan kata “ma’asya” ( معاشا ) dengan “waqtan lil ma’ayisy” ( وقتا
للمعايش ). Dalam gramatika bahasa Arab, kata “ma’asya”
( معاشا
) adalah bentuk isim zaman ( اسم الزمان) dari kata “’aisy” ( عيش ) yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya “kehidupan”. Yang
dimaksud dengan isim zaman adalah suatu bentuk kata benda yang menunjukkan
kepada arti waktu. Maka, dalam proses gramatika seperti ini, adalah makna
gramatika ketika kata “ma’asya” ditafsirkan menjadi “waqtan lil
ma’ayisy” dengan terjemahan “waktu untuk mencari kehidupan”.
Makna yang lain yang juga digunakan
oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya adalam makna sempit. Makna ini
dipilihnya dalam menafsirkan ayat ke-15 dan 29. Pada ayat ke-15, Jalaluddin
al-Suyuthi menafsirkan kata “habba” ( حبا ) dengan “ka al-hinthoh” ( كالحنطة ) dan kata “nabata” ( نباتا ) dengan “ ka al-tin”( كالتين ).
Dalam terjemahannya bahasa Indonesianya, kata “habba”
diterjemahkan dengan “biji”, dan kata “hinthoh” diterjemahkan dengan
“biji gandum”. Pada dasarnya, kata “habba” (biji) adalah kata yang
mempunyai makna luas (generik) yaitu semua kelompok biji-bijian. Adapun kata “hinthoh”
(biji gandum) adalah kata yang mempunyai makna sempit (spesifik), yaitu biji
gandum. Jadi, cara member penafsiran dengan kata “biji gandum” terhadap kata
“biji-bijian” adalah dengan memilih makna sempit (spesifik) dari makna yang
luas (generik).
Begitu juga pada kata “nabata”
yang ditafsirkan dengan kata “ al-tin”.
Pada dasarnya, kata “nabata” adalah kata yang mempunyai makna luas, yaitu
“tumbuh-tumbuhan”, sementara kata “al-tin” hanya spesifik sautu macam
tumbuhan yang bernama al-tin. Cara ini sama dengan cara ketika Jalaluddin
al-Suyuthi menafsirkan kata “biji-bijian” dengan “biji gandum”, yaitu memberi
makna sempit terhadap makna yang luas.
Pada macam makna kognitif atau makna
denotative, seperti yang digunakan oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk menafsirkan
ayat 1,7,9,16,18,19,20,21,22,23,24,25,32,33,35, dan 39, hubungan maknanya secara
keseluruhan bersifat sinonim (murodif). Artinya, kata-kata yang digunakan
sebagai tafsir mempunyai makna yang sama dengan kata-kata dalam al-Qurannya.
Dalam hal ini, makna yang terkandung dalam kata-kata al-Quran bisa tercakup
oleh kata-kata dalam tafsirnya. Hubungan antar dua kata seperti ini membentuk
hubungan sinonim, yaitu kata-kata yang berbeda tetapi mempunyai makna yang
sama.
Pada pemilihan makna referensial,
hubungan makna antara kata dalam al-Quran dengan kata-kata dalam tafsirnya
bersifat subjektif. Artinya, bahwa pemilihan referensi yang ditunjuk oleh
kata-kata dalam al-Quran tergantung kepada konteks penerima dan situasi
kata-kata itu disampaikan, sehingga sangat mungkin terjadi ada referensi lain
dari kata-kata tersebut apabila kata-kata itu diterima oleh konteks penerima
dan situasi yang berbeda.
Pada makna konseptual yang dipilih
oleh Jalaluddin al-Suyuthi untuk manafsirkan ayat 8, terdapat hubungan
pembatasan. Makna konseptual adalah makna yang muncul diakibatkan karena suatu
kata yang mempunyai konsep. Pada ayat 8 ini, kata yang mempunyai makna
konseptual adalah kata “berpasangan”. Dan kata “berpasangan” ini oleh
Jalaluddin al-Suyuthi didefiniskan sebagai pasangan lelaki dan perempuan.
Pasangan lelaki dan perempuan ini hanya merupakan pembatasan dari makna
pasangan, yang sangat mungkin ada pasangan-pasangan lainnya.
Hubungan makna gramatikal adalah
bersifat kesemestian. Karena proses gramatika bahasa adalah sifat alamiahnya
suatu bahasa yang sudah mempunyai kaidah yang baku dalam suatu bahasa. Seperti
tafsiran dari kata “ma’asya” ( معاشا ) yang merupakan bentuk kata isim zaman ( اسم
الزمان ), dengan kata “waqtun lil ma’ayisy”
( وقت للمعايش
) adalah hubungan makna kesemestian karena proses perubahan pola kata.
Adapun hubungan makna luas dengan
makna sempit seperti yang dipakai oleh mufassir (Jalaluddin al-Suyuthi) dalam
menafsirkan ayat ke-15 dalam surat an-Naba ini, bersifat memberikan contoh.
Artinya, ketika al-Quran menyebutkan “biji-bijian”, sebagai salah satu contoh
dari biji-bijian itu adalah gandum. Juga, ketika al-Quran menyebut “tanaman”,
sebagai contoh dari tanaman adalah al-tin. Makna yang dipilih dalam penafsiran
seperti ini tidak membatasi keluasan makna kata yang ada dalam al-Qurannya,
sehingga sangat mungkin justru makna itu mencakup semua makna yang terkandung
dalam keluasan makna kata tersebut.
Wafatnya
Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat
pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadil Awal tahun 911 H. Sebelumnya ia
menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Beliau
dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Kairo.
Lucky Club | Lucky Club Live Casino - Online casinos
BalasHapusLucky Club Casino is the new online casino site from Lucky Club. Try a 카지노사이트luckclub free registration bonus, a 100% up to €/€ 1,000 bonus.