Selasa, 03 Juni 2014

Keniscayaan Ilmu Bagi Manusia dalam Kisah Hayy bin Yaqdzan

Keniscayaan Ilmu Bagi Manusia dalam Kisah Hayy bin Yaqdzan


            Hayy, dengan akalnya merupakan mahluk yang berbeda dari mahluk-mahluk lainnya, yang dengan (akalnya) juga ia berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya sebagai mahluk lemah di antara mahluk lain tidak sekedar untuk memperkaya pengalamannya, tetapi untuk menemukan sesuatu yang lebih tinggi serta menutupi kelemahannya, dan itu adalah ilmu (pengetahuan).
            Ilmu selain menjadi pertanda bagi manusia juga menjadi keniscayaan bagi manusia dalam mengarungi hidupnya. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa manusia harus ber-“ilmu”, agar martabatnya sebagai mahluk tetap terjaga dan agar dapat menghadapi kehidupannya secara optimal.

            Pertama, manusia tidak siap hidup di “alam pertama” yang bermakna alam asli, alam yang belum terolah. Binatang bahkan siap pakai, siap jalan, dan siap hidup di alam asli. Bagi binatang hidup optimal dapat dicapai hanya dengan dua syarat, yakni habitat yang cocok dan adanya pasangan seksual. Kodrat kemahlukan bagi binatang dan mahluk lain yang bertaraf rendah, merupakan keniscayaan mutlak yang tidak dapat ditolaknya. Karena itu tidak ada upaya untuk mengembangkan pengetahuan untuk hidup, namun di sisi lain tidak ada tanggung jawab yang harus dipikulnya.
            Manusia tidak bisa hidup di alam pertama tersirat dalam kutipan kisah Hayy bin Yaqdzan:
            Ia selalu menjaga Hayy dan menggendongnya ke tempat-tempat yang ditumbuhi pohon dengan buah-buahan yang lezat. Ia akan menyuapi Hayy dengan buah-buahan yang sudah matang. Jika buah-buahan yang ia temukan keras, sebelum menyuapkan ke mulut Hayy, ia akan memecahkan buah tersebut dengan gigi gerahamnya.
            Manusia harus hidup di “alam kedua” yang berarti pengolahan , budi daya dan kreatifitas terhadap alam. Manusia tidak cukup atau tidak bisa hanya dengan makan daging mentah, daging harus dimasak, dibakar, diolah. Sebab secara fisiologis tubuhnya tidak siap untuk makan daging mentah yang kemungkinan mengandung banyak penyakit.
            Manusia harus mengolah alam pertama menjadi alam kedua bahkan alam ketiga, yakni nilai. Seperti yang terdapa dalam kutipan kisah Hayy bin Yaqdzan:
            Ia ambil hewan laut yang telah matang itu dan ia cicipi. Ternyata hewan-hewan laut yang sudah dibakar terasa sangat lezat. Hayy semakin mencintai api yang ia temukan. Karena api ia dapat menambah daftar makanan yang menyehatkan bagi tubuhnya, yaitu dengan makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya. Karena ia tidak terbiasa makan daging mentah.
            Contoh lain, manusia tidak bisa makan beras. Beras harus diolah menjadi nasi. Nasi pun harus dilengkapi dengan lauk-pauk . bahkan sebelum nasi masuk perut sering harus ada upacara mulai dari yang sederhana seperti duduk di kursi, cuci tangan, tidak boleh berbicara keras, dan sebagainya sampai yang serius bahkan sakral seperti harus berdoa kepada Tuhan sebelum makan. Dalam hal ini bahkan manusia sudah masuk ke “alam ketiga” yang bermakna nilai.
            Kedua, manusia sebagai mahluk yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dilakukan dan dicapainya. Inilah gambaran Hayy yang tidak pernah merasa puas mengetahui rahasia-rahasia alam. Dari hal terendah di sekelilingnya yaitu alam benda, dunia binatang yang merupakan kaum ibunya, kemudian merambat ke dunia tumbuhan, terus berkembang ke alam bintang-bintang yang membawanya pada pemahaman akan adanya pencipta alam. Persoalan yang paling mendasar adalah sejauh mana ketidakpuasan manusia dapat diterima sebagai sebuah kewajaran dalam pengembangan pengetahuannya, sebab  ketidakpuasan dapat bermakna sebagai suatu kreatifitas namun tidak jarang dapat berarti sebuah destruktivitas.
            Bagaimana Ibnu Thufail menceritakan kegelisahan Hayy mencari penyebab kematian ibunya :
               Ia pandangi telinganya lalu matanya. Ia tidak melihat sesuatu di mata dan telinga induknya . setelah itu ia pandangi anggota tubuhnya yang lain untuk mencari sesuatu yang menyebabkan gerakan-gerakan yang berasal dari tubuh induknya menjadi sirna. Namun ia kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang bersarang di tubuh itu. Ia bertekad untuk mencari dan menemukan sesuatu itu dan membuangnya dari sana.
            Karya manusia modern yang berasal dari pengembangan ilmu pengetahuan tidak melulu sebagai bentuk kreatifitas melainkan juga mengandung dampak yang dalam arti tertentu bersifat destruktif. “Kehancuran”             daun-daun kering dapat menyuburkan tanah, rusaknya buah-buahan yang dimakan manusia akan berubah menjadi substansi keunggulan manusia karena kandungan vitaminnya, bahkan kotoran binatang sekalipun tidak bersifat merusak tapi membangun bagi keberlangsungan hidup alam , seperti yang manusia alami dalam dunia modern sekarang ini. Manusia harus belajar menata kembali pemahamannya tentang kreatifitas dari hukum-hukum alam. Kerusakan yang ditimbulkan manusia adalah titik final , sedang kerusakan yang berasal dari peristiwa alam merupakan proses perantara bagi tumbuhnya kesempurnaan.
            Ketiga, manusia dan ilmu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan karena manusia merupakan mahluk yang memiliki kebutuhan akan jawaban atas pertanyaan tentang “makna” sebagai sesuatu yang bersifat immaterial dan batin. Pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup , tujuan hidup, apa yang terjadi sesudah kematian menjemput manusia, merupakan contoh bahwa manusia memerlukan sesuatu yang tidak hanya bersifat materi tetapi juga immateri.
            Kebutuhan manusia akan spiritualitas terlihat bahwa jawaban atas persoalan lapar bukan tersedianya makanan lezat di hadapannya. Seorang Hayy tidak makan selama makan hanya membuatnya terputus hubungan dengan penciptanya. Jawaban atas kebutuhan seks tidak hanya tersedianya pasangan lawan jenis yang bisa ia gauli. Ada komponen-komponen yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti kasih sayang, keterharuan, dan air mata.
            Keluhuran budi yang kesemuanya mengisyaratkan adanya jiwa di atas jasmani. Karena itu ketika manusia terjebak pada hal-hal yang bersifat jasmani, maka ia dianggap tak bermakna, dianggap gagal dalam meneliti kehidupan ini. Manusia berkewajiban melampaui dimensi jasmaninya menuju dimensi ruhani, guna menemukan makna.
            Manusia dalah mahluk yang “gelisah”, sebuah fenomena kejiwaan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, bahkan malaikat sekalipun. Kegelisahanlah yang menjadikan agama sebagai kebutuhan vital, spiritual menjadi kerinduan perekat, dan penguat kehidupan. Kegelisahanlah yang mendorong serta membuat hidup ini menjadi lebih jelas kalau manusia memiliki harapan dan impian .
            Seperti yang telah dikemukakan pada bahasan di atas bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya , hewan cukup dengan naluri (insting). Tapi perlu lebih dari sekedar intuisi, yakni akal. Betul manusia mendapatkan akal, akan tetapi akal manusia tidak sanggup untuk memenuhi rahasia-rahasia di akhirat. Kembali Ibnu Thufail menyebutkan:
            Akal dan yang kita sangka sebagai akal adalah kekuatan berpikir untuk memperhatikan beberapa jenis benda yang nampak dan dapat diindera. Orang yang hanya mengetahui benda-benda yang hanya dapat dipersepsi secara global, tanpa mengetahui sesuatu yang ada di balik benda tersebut, maka manusia akan sesat.

            Manusia memerlukan petunjuk lain selain intuisi dan akal. Petunjuk itu turun dari Tuhan dalam bentuk wahyu yang disampaukan pada para rasul. Tuhan memilih dari kalangan manusia sendiri petunjuk-petunjuk jalan yang ia anugerahi sifat-sifat khusus dan mukjizat yang menimbulkan keyakinan pada diri orang. Mereka datang untuk meluruskan pemikiran akal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar