Keniscayaan Ilmu Bagi Manusia dalam Kisah Hayy bin Yaqdzan
Hayy, dengan akalnya
merupakan mahluk yang berbeda dari mahluk-mahluk lainnya, yang dengan (akalnya)
juga ia berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya sebagai
mahluk lemah di antara mahluk lain tidak sekedar untuk memperkaya
pengalamannya, tetapi untuk menemukan sesuatu yang lebih tinggi serta menutupi
kelemahannya, dan itu adalah ilmu (pengetahuan).
Ilmu selain menjadi
pertanda bagi manusia juga menjadi keniscayaan bagi manusia dalam mengarungi
hidupnya. Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa manusia harus ber-“ilmu”,
agar martabatnya sebagai mahluk tetap terjaga dan agar dapat menghadapi
kehidupannya secara optimal.
Pertama, manusia tidak siap hidup di “alam pertama” yang bermakna
alam asli, alam yang belum terolah. Binatang bahkan siap pakai, siap jalan, dan
siap hidup di alam asli. Bagi binatang hidup optimal dapat dicapai hanya dengan
dua syarat, yakni habitat yang cocok dan adanya pasangan seksual. Kodrat
kemahlukan bagi binatang dan mahluk lain yang bertaraf rendah, merupakan
keniscayaan mutlak yang tidak dapat ditolaknya. Karena itu tidak ada upaya
untuk mengembangkan pengetahuan untuk hidup, namun di sisi lain tidak ada
tanggung jawab yang harus dipikulnya.
Manusia tidak bisa
hidup di alam pertama tersirat dalam kutipan kisah Hayy bin Yaqdzan:
Ia selalu menjaga Hayy
dan menggendongnya ke tempat-tempat yang ditumbuhi pohon dengan buah-buahan
yang lezat. Ia akan menyuapi Hayy dengan buah-buahan yang sudah matang. Jika
buah-buahan yang ia temukan keras, sebelum menyuapkan ke mulut Hayy, ia akan
memecahkan buah tersebut dengan gigi gerahamnya.
Manusia
harus hidup di “alam kedua” yang berarti pengolahan , budi daya dan kreatifitas
terhadap alam. Manusia tidak cukup atau tidak bisa hanya dengan makan daging
mentah, daging harus dimasak, dibakar, diolah. Sebab secara fisiologis tubuhnya
tidak siap untuk makan daging mentah yang kemungkinan mengandung banyak
penyakit.
Manusia
harus mengolah alam pertama menjadi alam kedua bahkan alam ketiga, yakni nilai.
Seperti yang terdapa dalam kutipan kisah Hayy bin Yaqdzan:
Ia ambil hewan laut
yang telah matang itu dan ia cicipi. Ternyata hewan-hewan laut yang sudah
dibakar terasa sangat lezat. Hayy semakin mencintai api yang ia temukan. Karena
api ia dapat menambah daftar makanan yang menyehatkan bagi tubuhnya, yaitu
dengan makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya. Karena ia tidak terbiasa
makan daging mentah.
Contoh
lain, manusia tidak bisa makan beras. Beras harus diolah menjadi nasi. Nasi pun
harus dilengkapi dengan lauk-pauk . bahkan sebelum nasi masuk perut sering
harus ada upacara mulai dari yang sederhana seperti duduk di kursi, cuci
tangan, tidak boleh berbicara keras, dan sebagainya sampai yang serius bahkan
sakral seperti harus berdoa kepada Tuhan sebelum makan. Dalam hal ini bahkan
manusia sudah masuk ke “alam ketiga” yang bermakna nilai.
Kedua, manusia sebagai mahluk yang
tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dilakukan dan dicapainya. Inilah
gambaran Hayy yang tidak pernah merasa puas mengetahui rahasia-rahasia alam.
Dari hal terendah di sekelilingnya yaitu alam benda, dunia binatang yang
merupakan kaum ibunya, kemudian merambat ke dunia tumbuhan, terus berkembang ke
alam bintang-bintang yang membawanya pada pemahaman akan adanya pencipta alam.
Persoalan yang paling mendasar adalah sejauh mana ketidakpuasan manusia dapat
diterima sebagai sebuah kewajaran dalam pengembangan pengetahuannya, sebab ketidakpuasan dapat bermakna sebagai suatu
kreatifitas namun tidak jarang dapat berarti sebuah destruktivitas.
Bagaimana
Ibnu Thufail menceritakan kegelisahan Hayy mencari penyebab kematian ibunya :
Ia
pandangi telinganya lalu matanya. Ia tidak melihat sesuatu di mata dan telinga
induknya . setelah itu ia pandangi anggota tubuhnya yang lain untuk mencari
sesuatu yang menyebabkan gerakan-gerakan yang berasal dari tubuh induknya
menjadi sirna. Namun ia kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang bersarang di
tubuh itu. Ia bertekad untuk mencari dan menemukan sesuatu itu dan membuangnya
dari sana.
Karya
manusia modern yang berasal dari pengembangan ilmu pengetahuan tidak melulu
sebagai bentuk kreatifitas melainkan juga mengandung dampak yang dalam arti
tertentu bersifat destruktif. “Kehancuran” daun-daun
kering dapat menyuburkan tanah, rusaknya buah-buahan yang dimakan manusia akan
berubah menjadi substansi keunggulan manusia karena kandungan vitaminnya,
bahkan kotoran binatang sekalipun tidak bersifat merusak tapi membangun bagi
keberlangsungan hidup alam , seperti yang manusia alami dalam dunia modern
sekarang ini. Manusia harus belajar menata kembali pemahamannya tentang
kreatifitas dari hukum-hukum alam. Kerusakan yang ditimbulkan manusia adalah
titik final , sedang kerusakan yang berasal dari peristiwa alam merupakan
proses perantara bagi tumbuhnya kesempurnaan.
Ketiga, manusia dan ilmu merupakan dua
hal yang tidak terpisahkan karena manusia merupakan mahluk yang memiliki
kebutuhan akan jawaban atas pertanyaan tentang “makna” sebagai sesuatu yang
bersifat immaterial dan batin. Pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup ,
tujuan hidup, apa yang terjadi sesudah kematian menjemput manusia, merupakan
contoh bahwa manusia memerlukan sesuatu yang tidak hanya bersifat materi tetapi
juga immateri.
Kebutuhan
manusia akan spiritualitas terlihat bahwa jawaban atas persoalan lapar bukan
tersedianya makanan lezat di hadapannya. Seorang Hayy tidak makan selama makan
hanya membuatnya terputus hubungan dengan penciptanya. Jawaban atas kebutuhan
seks tidak hanya tersedianya pasangan lawan jenis yang bisa ia gauli. Ada
komponen-komponen yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti kasih sayang,
keterharuan, dan air mata.
Keluhuran
budi yang kesemuanya mengisyaratkan adanya jiwa di atas jasmani. Karena itu
ketika manusia terjebak pada hal-hal yang bersifat jasmani, maka ia dianggap
tak bermakna, dianggap gagal dalam meneliti kehidupan ini. Manusia berkewajiban
melampaui dimensi jasmaninya menuju dimensi ruhani, guna menemukan makna.
Manusia
dalah mahluk yang “gelisah”, sebuah fenomena kejiwaan yang tidak dimiliki oleh
mahluk lain, bahkan malaikat sekalipun. Kegelisahanlah yang menjadikan agama
sebagai kebutuhan vital, spiritual menjadi kerinduan perekat, dan penguat
kehidupan. Kegelisahanlah yang mendorong serta membuat hidup ini menjadi lebih
jelas kalau manusia memiliki harapan dan impian .
Seperti
yang telah dikemukakan pada bahasan di atas bahwa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya , hewan cukup dengan naluri (insting). Tapi perlu lebih dari sekedar
intuisi, yakni akal. Betul manusia mendapatkan akal, akan tetapi akal manusia
tidak sanggup untuk memenuhi rahasia-rahasia di akhirat. Kembali Ibnu Thufail
menyebutkan:
Akal dan yang kita
sangka sebagai akal adalah kekuatan berpikir untuk memperhatikan beberapa jenis
benda yang nampak dan dapat diindera. Orang yang hanya mengetahui benda-benda
yang hanya dapat dipersepsi secara global, tanpa mengetahui sesuatu yang ada di
balik benda tersebut, maka manusia akan sesat.
Manusia
memerlukan petunjuk lain selain intuisi dan akal. Petunjuk itu turun dari Tuhan
dalam bentuk wahyu yang disampaukan pada para rasul. Tuhan memilih dari
kalangan manusia sendiri petunjuk-petunjuk jalan yang ia anugerahi sifat-sifat
khusus dan mukjizat yang menimbulkan keyakinan pada diri orang. Mereka datang
untuk meluruskan pemikiran akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar