MENGENAL
STRATA MAD’U
Oleh:
Muhammad Ragil
1. Apa pengertian dari mad’u?
Mad’u berasal dari bahasa Arab yang
merupakan bentuk isim maf’ul dari kata da’aa yad’uu, da’watan, yang
artinya orang yang diajak, diseru, dipanggil, dalam hal ini dimaksudkan orang
yang didakwahi (objek/sasaran dakwah). Allah swt bersabda:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [١٦:١٢٥[
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS.an-Nahl:125).
Pada
ayat di atas terdapat kata perintah, yaitu “ud’u” yang artinya “serulah,
ajaklah”. Dalam bahasa Arab, lafadz “ud’u” merupakan fi’l amr, sedangkan objek
atau ism maf’ul-nya adalah mad’u. jadi, mad’u merupakan orang yang diseur,
yaitu objek atau sasaran dakwah.

2. Apa yang dimaksud dengan strata mad’u?
Strata berarti lapisan, tingkatan,
jenjang. Sedangkan mad’u berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk isim
maf’ul dari kata da’aa yad’uu da’watan, yang artinya orang yang diajak,
diseru, dipanggil, dalam hal ini dimaksudkan orang yang didakwahi
(objek/sasaran dakwah).
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa strata mad’u adalah tingkatan atau lapisan sasaran/dakwah.
Adanya konsep strata
mad’u ditunjukkan oleh firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ
[٣٠:٢٢[
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui. (QS. Ar-Ruum:22)”`
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
manusia diciptakan dalam keragaman jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit,
dan lain-lain. Dengan adanya keberagaman itu, maka mad’u atau sasaran dakwah
pun juga beragam. Inilah yang dikenal dengan adanya strata mad’u.
- Mengapa
seorang dai perlu mengenal strata mad’u?
Karena kondisi mad’u beragam baik
dari segi usia, jenis kelamin, kecerdasan, dan sebagainya. Dalam hal inilah
seorang dai harus menyesuaikan dengan kondisi mad’unya. Salah satu makna hikmah
dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah
ditetapkan Allah. Di saat terjun di sebuah komunitas, atau melakukan kontak
dengan seseorang mad’u, da’i yang baik harus mempelajari terlebih dahulu data
riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan. Dengan demikian, ia akan
memahami kondisi mad’unya dan menyesuaikan dakwahnya pada tiap kondisi sehingga
dakwahnya akan menjadi lebih efektif dan dapat diterima oleh mad’u. hal ini
ditunjukan oleh sebuah hadis ketika Rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke
Yaman:
عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ
رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَا لَ, قَلَ رَسّوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ
وَسَلَّمَ لِمُعَاذِبْنِ جَبَلِ حِيْنَ بَعَثَهُ ِالَى الْيَمَنِ : اِنَّكَ سَتَأ
تِى قَوْمًااَهْلَ كِتَبٍ فَاِذَاجِئتَهُمْ فَادْعُهُمْ اِلَى اَنْ يَشهَدُوْاَنْ
لاً ِالَهَ اِلاً اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًارَّسُولُ اللهِ, فَانْ هُمْ اَطَاعُوْا
لَكَ بذَا لَكَ فَاَ خْبْرَهُمْ اَنْ اللهَ قَدْ فَرَ ضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ, فَاِنْهُمْ اَطَا عُوْالَكَ بِذَ الِكَ
فَاِ خْبِرْ هُمْ اَنً الله قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤخَذُ مِنْ
اَغْنِيَاءِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقُرَاءِهِمْ, فَاِنْ هُمْ اَطَاعُوْا لَكَ
بِذَالِكَ فَاِيَّكَ وَكَرَانَمَ امْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ اْلْمَظْلُوْمِ
فَاِنَّهُ لَيْس بَيْنَهُ و بين اللهِ حِجَابٌ
Rasulullah berkata kepada Mu'adz bin Jabal sebelum
beliau melepasnya ke Yaman : "Sesungguhnya engkau akan mendatangi negeri
yang pendudukiga Ahli Kitab. Jika kamu telah sampai ke sana, dakwahilah mereka
untuk mengikrarkan kalimat syahadat. Jika mereka merespon dakwahmu, maka
sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima maktu
sehari semalam. Jika mereka menaati perintah ini, sampaikan kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan kepada mereka Zakat yang diambil dari orang kaya untuk didistribusikan
kepada orang miskin di antara mereka. Jika mereka menaati perintah ini, maka
berhati-hatilah dengan harta-harta berharga mereka, dan berhati-hatilah dengan
doa orang yang berzalimi, karena doa mereka tidak berbijab untuk sampai kepada
Allah.”.
Rasulullah membekali Mu'adz dengan
informasi mad'u yang akan dihadapi Mu'adz dan apa yang harus disampaikan, dan
bagaimana langkah setelah mereka merespon ajakan pertama atau menolak.
- Bagaimana
akibatnya jika dakwah dilakukan tanpa memandang strata mad’u?
Dakwah yang dilakukan tanpa
memandang strata mad’u tidak akan efektif bahkan akan gagal dan tidak diterima
oleh mad’u. seorang da’i yang tidak memperhatikan strata mad’u tidak dapat
memahami kondisi mad’unya, sehingga ia akan berdakwah tanpa memperhatikan
kondisi mad’u. dakwah yang seperti ini memiliki risiko yang sangat besar akan
salah sasaran. Misalnya saja berdakwah membahas masalah yang rumit dalam agama
bahkan memerlukan pemikiran yang mendalam seperti masalah ijtihad ataupun
takhrij hadis terhadap masyarakat pedesaan yang awam. Materi dakwahnya yang
terlalu berat tersebut tentu tidak dapat diterima atau ditangkap oleh masyarakat
pedesaan, bahkan akan menimbulkan kebingungan mereka. Lebih jauh lagi dakwah
yang seperti itu dapat menyesatkan mereka, karena mereka mengamalkan apa yang
mereka pahami, sedangkan dengan materi dakwah yang terlalu berat, terkadang
membuat mereka salah pemahaman. Inilah yang perlu diperhatikan. Dakwah tanpa
mengenal strata mad’u selain tidak efektif dan tidak dapat diterima, lebih jauh
lagi juga dapat menyesatkan mad’u itu sendiri jika dakwahnya tidak tepat
sasaran atau materi dakwah tidak sesuai dengan kondisi mad’u.
Ali bin Abi Thalib berkata :
حَدِّثُواالنَّا
سَ بِمَا يَعْرِ فُوْنَ, اَتُحِبُّوْنَ اَنْ يُّكَذّبَ الله وَرَسُوْ لَهُ
“Berbicaralah dengan orang sesuai dengan tingkat
pengetahuan mereka, apakah engkau suka Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
Ali sangat memahami karakter
manusia, dakwah yang dilakukan tanpa memandang strata mad'u bisa berakibat
fatal, ayat Allah dan sabda Rasul bisa menjadi bahan olok-olokkan orang yang
tidak paham.
- Di
manakah terdapat landasan normatif untuk mengenali strata mad’u?
Landasan normatif untuk mengenali
strata mad’u banyak terdapat dalam al-Qur’an, hadis, maupun atsar sahabat. Di
antaranya:
a. Allah berfirman
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي
عِلْمٍ عَلِيمٌ [١٢:٧٦]
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu
ada lagi yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf : 76)”.
Hasan al Bashri berkata:
"Tidak ada seorang alim pun kecuali di atasnya ada orang alim lagi sampai
berakhir kepada Allah."' Ayat ini memberikan informasi kepada kita bahwa
kadar ilmu pengetahuan manusia bertingkat. Informasi ini sekaligus isyarat
kepada kita bagaimana membangun komunikasi dengan berbagai level manusia
tersebut.
b. Dari Aisyah ra., beliau berkata :
اَمَرَنَا
رَ سُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نُنَزّلَ النَّا سَ مَنَازِ
لَهُم
“Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kami untuk
menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya.”
c. Rasulullah SAW. berkata kepada Aisyah :
“Wahai Aisyah, andaikan bukan karena kaummu baru
masuk Islam, pasti aku akan merombak Ka'bah, dan aku jadikan dua pintu, pintu
untuk masuk dan pintu untuk keluar."
Dalam menjelaskan hadis ini, Ibnu
Hajar al-Asqalani berkata : "Orang Quraisy sangat mengagungkan Ka'bah.
Rasulullah SAW, berencana untuk merubah bangunannya, tetapi beliau khawatir
disangka macam-macam oleh penduduk Quraisy yang baru masuk Islam, akhirnya
beliau mengurungkan rencananya.”
Itulah beberapa contoh aplikatif
Rasulullah saw melaksanakan perintah Allah agar berdakwah dengan hikmah, yaitu
dengan memperhatikan kondisi mad’unya.
- Di
manakah dan kapankah seorang dai perlu menerapkan adanya strata mad’u?
Di manapun dan kapanpun seorang dai
berdakwah, ia perlu menerapkan dan memahami adanya strata mad’u, karena satu
tempat dengan tempat yang lain tentu memiliki kondisi yang berbeda. Materi dan
cara berdakwah pun juga berbeda karena harus disesuaikan dengan kondisi mad’u
di masing-masing tempat. Disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Muslim bahwa:
“tidaklah kamu berkomunikasi kepada suatu kaum
dengan komunikasi yang tidak dapat diterima oleh tingkat kecerdasan mereka
kecuali sebagian mereka akan merupakan fitnah.”.
Hadis
di atas menegaskan bahwa seorang dai harus menyesuaikan dakwahnya dengan
kondisi mad’unya di manapun dan kapanpun ia berdakwah.

- ada
berapa kategori mad’u dilihat dari segi penerimaan dan penolakannya
terhadap ajaran Islam?
Ada dua, yaitu kategori muslimun
atau mukminun atau umat Istijabah (umat yang telah menerima dakwah), dan non-muslim
atau umat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah Islam). Hal ini
sesuai dengan firman Allah:
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِن بَعْدِهِم مِّن بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ
الْبَيِّنَاتُ وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُم مَّنْ آمَنَ وَمِنْهُم مَّن كَفَرَ
“dan kalau Allah menghendaki
niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul
itu, sesudah dating kepada mereka beberapa keterangan, akan tetapi mereka
berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara
merekayang kafir”. (QS.al-Baqarah: 253).
- Siapakah yang termasuk dalam rumpun mad’u yang
dijelaskan pada permulaan surat al-Baqarah?
Di awal surah al-Baqarah, mad'u
dikelompokkan dalam tiga rumpun, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik. Mujahid
berkata : “empat ayat di awal Surah al-Baqarah mendeskripsikan tentang sifat
orang mukmin:
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنفِقُونَ [٢:٣]وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ
مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ [٢:٤]
“(yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami
anugerahkan kepada mereka, (3) dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an)
yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (QS.al-Baqarah:3-4).
Dua ayat mendeskripsikan sifat orang kafir:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْتُنذِرْهُمْ لَا
يُؤْمِنُونَ [٢:٦]خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ
وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ [٢:٧]
“sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak akan beriman (6) Allah telah mengunci-mati
hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka
siksa yang amat pedih”. (QS.al-Baqarah:6-7).
Dan tiga belas ayat berikutnya mendeskripsikan sifat
orang munafik:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ
وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ [٢:٨]
“di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”.
(QS.al-Baqarah: 8).”.
Dalam istilah M. Natsir, kelompok
mad'u ada tiga, yaitu” kawan yang setia sehidup semati, dari awal sampai akhir
dan lawan yang secara terang-terangan memusuhinya dari awal sampai akhir; dan
lawan yang bermain pura-pura menjadi kawan, sambil menunggu saat untuk menikam
dari belakang…”.
- Dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa umat Muslim terbagi menjadi tiga golongan,
siapa sajakah mereka?
Umat muslim (istijabah) terbagi
dalam tiga kelompok, yaitu sabiqun bi al-khairat (orang yang saleh dan
bertakwa), dzalimun linafsih (orang fasik dan ahli maksiat), dan muqtashid
(mad’u yang labil keimanannya). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam surat
Fathir ayat 32:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ
اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ
وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [٣٥:٣٢]
“kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang terpilih di antara hamba-hamba
Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS.Fathir:32).
- Ditinjau dari prioritas dakwah, siapakah mad’u yang
harus kita utamakan?
Mad’u ditinjau
dari perioritas dakwa, dimulai dari sendiri, keluarga, masyarakat, dan
seterusnya. Seorang dai sebelum mendakwahi orang lain tentu harus mendakwahi
dan menata dirinya sendiri, sehingga ia dapat konsekuan dengan dakwahnya. Ia
tidak akan mendakwahkan hal yang ia sendiri tidak melakukannya sedangkan ia
mampu. Seorang dai yang berdakwah kepada orang lain tapi dirinya sendiri tidak
mau mengamalkannya ia sangat dibenci oleh Allah. Allah swt berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ [٦١:٣]
“(itu) sangat dibenci di sisi
Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS.ash-Shaff: 3).
Prioritas
selanjutnya yaitu keluarga dekat, masyarakat, dan seterusnya,sebagaimana firman
Allah:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ [٢٦:٢١٤].
“Dan berilah peringatan kepada
kerabat dekatmu”. (QS.asy-Syu’araa: 214).

Dakwah
dengan memperhatikan strata mad’u sangatlah penting, karena akan menentukan
keberhasilah berdakwah. Terdapat suatu kisah yang menunjukkan betapa pemtingnya
dakwah dengan memperhatikan strata mad’u:
Kisah Ustaz Sabun Mandi
Papua, dikenal sebagai salah satu
penghasil emas terbesar di dunia. Tak hanya emas, sumber daya alam lainnya pun
melimpah. Bumi cenderawasih begitu kaya. Tapi ternyata, kekayaan itu tidak
mengangkat derajat hidup masyarakat di sana. Mayoritas masyarakat masih hidup
miskin, bahkan sebagaian besar penduduk asli masih tinggal di pedalaman.
Julukan sebagai salah satu provinsi
yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia
ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki
sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah
Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.
Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17
Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein
Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram.
Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih
senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.
Nuu Waar adalah nama pertama untuk
Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam
bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam
bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang
menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan
kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22
mei lalu.
Ustaz Fadhlan menegaskan,
berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu
Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena
misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini
tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari
orang Kristen di sana,” ujarnya.
Karena itulah, ustad yang selalu
memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu
Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz
Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek
moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.
Sebagai penanggung jawab meneruskan
kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan
Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung
menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam
kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”
Lalu mengapa dirinya tetap mau
berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz
Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah
Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di
pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua,
umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan
baik,” terangnya.
Dalam mengenalkan Islam kepada
penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi.
Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan,
ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan
rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.
“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih
Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus
berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada
binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,”
ujarnya.
Rintangan bukan hanya soal kondisi
alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang
melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum
seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari
negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul.
Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.
Begitu beratnya tantangan dakwah,
tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali
pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah
mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”
Dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini
membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia
menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah
warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata
tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220
ribu orang Papua pedalaman.
Ini belum termasuk jumlah tempat
ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya.
Inovasi dakwah yang dilakukan Ustaz
Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi
masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam
pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal
Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh
mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan”
dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.
“Kami berdakwah tentang kebersihan
secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu
menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung
keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang
Fadzlan seraya tersenyum lebar.
Bukan hanya sabun mandi, Ustaz
Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan
koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
“Awalnya kami kenalkan celana
kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy,
malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih
telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan
baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus,” kata
Fadzlan yang juga menjembatani generasi Nuuwar untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka
tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya
malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut
melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan
perubahan dalam dirinya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar