Minggu, 23 Februari 2014

Mengenal Strata Mad'u (Objek Dakwah)

MENGENAL STRATA MAD’U
Oleh: Muhammad Ragil
1.      Apa pengertian dari mad’u?
Mad’u berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata da’aa yad’uu, da’watan, yang artinya orang yang diajak, diseru, dipanggil, dalam hal ini dimaksudkan orang yang didakwahi (objek/sasaran dakwah). Allah swt bersabda:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [١٦:١٢٥[
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.an-Nahl:125).
            Pada ayat di atas terdapat kata perintah, yaitu “ud’u” yang artinya “serulah, ajaklah”. Dalam bahasa Arab, lafadz “ud’u” merupakan fi’l amr, sedangkan objek atau ism maf’ul-nya adalah mad’u. jadi, mad’u merupakan orang yang diseur, yaitu objek atau sasaran dakwah.

2.      Apa yang dimaksud dengan strata mad’u?
Strata berarti lapisan, tingkatan, jenjang. Sedangkan mad’u berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata da’aa yad’uu da’watan, yang artinya orang yang diajak, diseru, dipanggil, dalam hal ini dimaksudkan orang yang didakwahi (objek/sasaran dakwah).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strata mad’u adalah tingkatan atau lapisan sasaran/dakwah.
                        Adanya konsep strata mad’u ditunjukkan oleh firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ [٣٠:٢٢[
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui. (QS. Ar-Ruum:22)”`
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia diciptakan dalam keragaman jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, dan lain-lain. Dengan adanya keberagaman itu, maka mad’u atau sasaran dakwah pun juga beragam. Inilah yang dikenal dengan adanya strata mad’u.
  1. Mengapa seorang dai perlu mengenal strata mad’u?
Karena kondisi mad’u beragam baik dari segi usia, jenis kelamin, kecerdasan, dan sebagainya. Dalam hal inilah seorang dai harus menyesuaikan dengan kondisi mad’unya. Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah. Di saat terjun di sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang mad’u, da’i yang baik harus mempelajari terlebih dahulu data riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan. Dengan demikian, ia akan memahami kondisi mad’unya dan menyesuaikan dakwahnya pada tiap kondisi sehingga dakwahnya akan menjadi lebih efektif dan dapat diterima oleh mad’u. hal ini ditunjukan oleh sebuah hadis ketika Rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman:
 عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَا لَ, قَلَ رَسّوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِبْنِ جَبَلِ حِيْنَ بَعَثَهُ ِالَى الْيَمَنِ : اِنَّكَ سَتَأ تِى قَوْمًااَهْلَ كِتَبٍ فَاِذَاجِئتَهُمْ فَادْعُهُمْ اِلَى اَنْ يَشهَدُوْاَنْ لاً ِالَهَ اِلاً اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًارَّسُولُ اللهِ, فَانْ هُمْ اَطَاعُوْا لَكَ بذَا لَكَ فَاَ خْبْرَهُمْ اَنْ اللهَ قَدْ فَرَ ضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ, فَاِنْهُمْ اَطَا عُوْالَكَ بِذَ الِكَ فَاِ خْبِرْ هُمْ اَنً الله قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤخَذُ مِنْ اَغْنِيَاءِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقُرَاءِهِمْ, فَاِنْ هُمْ اَطَاعُوْا لَكَ بِذَالِكَ فَاِيَّكَ وَكَرَانَمَ امْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ اْلْمَظْلُوْمِ فَاِنَّهُ لَيْس بَيْنَهُ و بين اللهِ حِجَابٌ
Rasulullah berkata kepada Mu'adz bin Jabal sebelum beliau melepasnya ke Yaman : "Sesungguhnya engkau akan mendatangi negeri yang pendudukiga Ahli Kitab. Jika kamu telah sampai ke sana, dakwahilah mereka untuk mengikrarkan kalimat syahadat. Jika mereka merespon dakwahmu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima maktu sehari semalam. Jika mereka menaati perintah ini, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka Zakat yang diambil dari orang kaya untuk didis­tribusikan kepada orang miskin di antara mereka. Jika mereka menaati perintah ini, maka berhati-hatilah dengan harta-harta berharga mereka, dan berhati-hatilah dengan doa orang yang berzalimi, karena doa mereka tidak berbijab untuk sampai kepada Allah.”.
Rasulullah membekali Mu'adz dengan informasi mad'u yang akan dihadapi Mu'adz dan apa yang harus disampaikan, dan bagaimana langkah setelah mereka merespon ajakan pertama atau menolak.
  1. Bagaimana akibatnya jika dakwah dilakukan tanpa memandang strata mad’u?
Dakwah yang dilakukan tanpa memandang strata mad’u tidak akan efektif bahkan akan gagal dan tidak diterima oleh mad’u. seorang da’i yang tidak memperhatikan strata mad’u tidak dapat memahami kondisi mad’unya, sehingga ia akan berdakwah tanpa memperhatikan kondisi mad’u. dakwah yang seperti ini memiliki risiko yang sangat besar akan salah sasaran. Misalnya saja berdakwah membahas masalah yang rumit dalam agama bahkan memerlukan pemikiran yang mendalam seperti masalah ijtihad ataupun takhrij hadis terhadap masyarakat pedesaan yang awam. Materi dakwahnya yang terlalu berat tersebut tentu tidak dapat diterima atau ditangkap oleh masyarakat pedesaan, bahkan akan menimbulkan kebingungan mereka. Lebih jauh lagi dakwah yang seperti itu dapat menyesatkan mereka, karena mereka mengamalkan apa yang mereka pahami, sedangkan dengan materi dakwah yang terlalu berat, terkadang membuat mereka salah pemahaman. Inilah yang perlu diperhatikan. Dakwah tanpa mengenal strata mad’u selain tidak efektif dan tidak dapat diterima, lebih jauh lagi juga dapat menyesatkan mad’u itu sendiri jika dakwahnya tidak tepat sasaran atau materi dakwah tidak sesuai dengan kondisi mad’u.
Ali bin Abi Thalib berkata :
حَدِّثُواالنَّا سَ بِمَا يَعْرِ فُوْنَ, اَتُحِبُّوْنَ اَنْ يُّكَذّبَ الله وَرَسُوْ لَهُ
“Berbicaralah dengan orang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, apakah engkau suka Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
Ali sangat memahami karakter manusia, dakwah yang dilakukan tanpa memandang strata mad'u bisa berakibat fatal, ayat Allah dan sabda Rasul bisa menjadi bahan olok­-olokkan orang yang tidak paham.
  1. Di manakah terdapat landasan normatif untuk mengenali  strata mad’u?
Landasan normatif untuk mengenali strata mad’u banyak terdapat dalam al-Qur’an, hadis, maupun atsar sahabat. Di antaranya:
a.       Allah berfirman
 وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ [١٢:٧٦]
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf : 76)”.
Hasan al Bashri berkata: "Tidak ada seorang alim pun kecuali di atasnya ada orang alim lagi sampai berakhir kepada Al­lah."' Ayat ini memberikan informasi kepada kita bahwa kadar ilmu pengetahuan manusia bertingkat. Informasi ini sekaligus isyarat kepada kita bagaimana membangun komunikasi dengan berbagai level manusia tersebut.
b.    Dari Aisyah ra., beliau berkata :
اَمَرَنَا رَ سُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نُنَزّلَ النَّا سَ مَنَازِ لَهُم
“Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kami untuk menem­patkan manusia sesuai dengan kedudukannya.”
c.       Rasulullah SAW. berkata kepada Aisyah :
“Wahai Aisyah, andaikan bukan karena kaummu baru masuk Islam, pasti aku akan merombak Ka'bah, dan aku jadikan dua pintu, pintu untuk masuk dan pintu untuk keluar."
Dalam menjelaskan hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : "Orang Quraisy sangat mengagungkan Ka'bah. Rasulullah SAW, berencana untuk merubah bangunannya, tetapi beliau khawatir disangka macam-macam oleh penduduk Quraisy yang baru masuk Islam, akhirnya beliau mengurungkan rencananya.”
Itulah beberapa contoh aplikatif Rasulullah saw melaksanakan perintah Allah agar berdakwah dengan hikmah, yaitu dengan memperhatikan kondisi mad’unya.
  1. Di manakah dan kapankah seorang dai perlu menerapkan adanya strata mad’u?
Di manapun dan kapanpun seorang dai berdakwah, ia perlu menerapkan dan memahami adanya strata mad’u, karena satu tempat dengan tempat yang lain tentu memiliki kondisi yang berbeda. Materi dan cara berdakwah pun juga berbeda karena harus disesuaikan dengan kondisi mad’u di masing-masing tempat. Disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Muslim bahwa:
“tidaklah kamu berkomunikasi kepada suatu kaum dengan komunikasi yang tidak dapat diterima oleh tingkat kecerdasan mereka kecuali sebagian mereka akan merupakan fitnah.”.
            Hadis di atas menegaskan bahwa seorang dai harus menyesuaikan dakwahnya dengan kondisi mad’unya di manapun dan kapanpun ia berdakwah.
  1. ada berapa kategori mad’u dilihat dari segi penerimaan dan penolakannya terhadap ajaran Islam?
Ada dua, yaitu kategori muslimun atau mukminun atau umat Istijabah (umat yang telah menerima dakwah), dan non-muslim atau umat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah Islam). Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِن بَعْدِهِم مِّن بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُم مَّنْ آمَنَ وَمِنْهُم مَّن كَفَرَ
“dan kalau Allah menghendaki niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah dating kepada mereka beberapa keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara merekayang kafir”. (QS.al-Baqarah: 253).
  1. Siapakah yang termasuk dalam rumpun mad’u yang dijelaskan pada permulaan surat al-Baqarah?
Di awal surah al-Baqarah, mad'u dikelompokkan dalam tiga rumpun, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik. Mujahid berkata : “empat ayat di awal Surah al-Baqarah men­deskripsikan tentang sifat orang mukmin:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ [٢:٣]وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ [٢:٤]  
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan salat  dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka, (3) dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (QS.al-Baqarah:3-4).
Dua ayat mendeskripsikan sifat orang kafir:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْتُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ [٢:٦]خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ [٢:٧]
“sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu  beri peringatan, mereka tidak akan beriman (6) Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih”. (QS.al-Baqarah:6-7).
Dan tiga belas ayat berikutnya mendeskripsikan sifat orang munafik:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ [٢:٨]
“di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. (QS.al-Baqarah: 8).”.
Dalam istilah M. Natsir, kelompok mad'u ada tiga, yaitu” kawan yang setia sehidup semati, dari awal sampai akhir dan lawan yang secara terang-terangan memusuhinya dari awal sampai akhir; dan lawan yang bermain pura-pura menjadi kawan, sambil menunggu saat untuk menikam dari belakang…”.
  1. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa umat Muslim terbagi menjadi tiga golongan, siapa sajakah mereka?
Umat muslim (istijabah) terbagi dalam tiga kelompok, yaitu sabiqun bi al-khairat (orang yang saleh dan bertakwa), dzalimun linafsih (orang fasik dan ahli maksiat), dan muqtashid (mad’u yang labil keimanannya). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam surat Fathir ayat 32:
 ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [٣٥:٣٢]
“kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang terpilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS.Fathir:32).
  1. Ditinjau dari prioritas dakwah, siapakah mad’u yang harus kita utamakan?
Mad’u ditinjau dari perioritas dakwa, dimulai dari sendiri, keluarga, masyarakat, dan seterusnya. Seorang dai sebelum mendakwahi orang lain tentu harus mendakwahi dan menata dirinya sendiri, sehingga ia dapat konsekuan dengan dakwahnya. Ia tidak akan mendakwahkan hal yang ia sendiri tidak melakukannya sedangkan ia mampu. Seorang dai yang berdakwah kepada orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau mengamalkannya ia sangat dibenci oleh Allah. Allah swt berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ [٦١:٣]
“(itu) sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS.ash-Shaff: 3).
Prioritas selanjutnya yaitu keluarga dekat, masyarakat, dan seterusnya,sebagaimana firman Allah:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ [٢٦:٢١٤].
“Dan berilah peringatan kepada kerabat dekatmu”. (QS.asy-Syu’araa: 214).
                        Dakwah dengan memperhatikan strata mad’u sangatlah penting, karena akan menentukan keberhasilah berdakwah. Terdapat suatu kisah yang menunjukkan betapa pemtingnya dakwah dengan memperhatikan strata mad’u:

Kisah Ustaz Sabun Mandi
Papua, dikenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Tak hanya emas, sumber daya alam lainnya pun melimpah. Bumi cenderawasih begitu kaya. Tapi ternyata, kekayaan itu tidak mengangkat derajat hidup masyarakat di sana. Mayoritas masyarakat masih hidup miskin, bahkan sebagaian besar penduduk asli masih tinggal di pedalaman.
Julukan sebagai salah satu provinsi yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.
Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram. Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.
Nuu Waar adalah nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22 mei lalu.
Ustaz Fadhlan menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari orang Kristen di sana,” ujarnya.
Karena itulah, ustad yang selalu memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.
Sebagai penanggung jawab meneruskan kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”
Lalu mengapa dirinya tetap mau berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua, umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan baik,” terangnya.
Dalam mengenalkan Islam kepada penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan, ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.
“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,” ujarnya.
Rintangan bukan hanya soal kondisi alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul. Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.
Begitu beratnya tantangan dakwah, tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220 ribu orang Papua pedalaman.
Ini belum termasuk jumlah tempat ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya.
Inovasi dakwah yang dilakukan Ustaz Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan” dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.
“Kami berdakwah tentang kebersihan secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang Fadzlan seraya tersenyum lebar.
Bukan hanya sabun mandi, Ustaz Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus,” kata Fadzlan yang juga menjembatani generasi Nuuwar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.
 “Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya.

Kisah di atas memperikan pelajaran dan inspirasi bagi kita mengenai seorang dai yang sangat memperhatikan kondisi mad’unya, sehingga ia bisa menerapkan strategi dan cara supaya dakwahnya bisa diterima. Dengan semangat, ketekunan, serta strateginya dalam berdakwah, dakwahnya pun berhasil dan dapat diterima oleh mad’unya. Itulah sepenggal kisah yang mengajarkan pada kita tentang pentingnya mengenal strata mad’u untuk mengetahui kondisi mad’u dan dapat mengarahkan dakwah kita sesuai dengan kondisi dan tingkat penerimaan mad’u.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar