Cerita MH-ku Di Desa Sumbersari, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Ragil
Salah satu
kegiatan rutin yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah (PUTM) adalah Muballigh Hijrah (MH) yang dilaksanakan setiap bulan
Ramadhan selama dua puluh lima hari. MH yang merupakan program tahunan dari
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta ( PWM DIY) ini
dilaksanakan dengan mengirim para pesertanya untuk terjun langsung berdakwah ke
berbagai daerah di Provinsi DIY dan sekitarnya seperti Gunungkidul, Kulonprogo,
Bantul, Sleman, Kota Yogyakarta, Klaten, dan sebagainya. Ada juga yang
diterjunkan ke berbagai daerah yang mengajukan permintaan untuk didatangi
peserta MH, seperti Banjarnegara, Purworejo, Batang, Pemalang, Bogor,
Tulungagung, dan sebagainya.
Kabupaten
Gunungkidul merupakan salah satu daerah utama sasaran MH. Hal ini tidak
mengherankan karena memang jumlah ustadz dan muballigh yang ada di sana tidak
sebanyak di kabupaten lain di DIY seperti Bantul, Sleman apalagi Kota Jogja.
Masyarakat di sana juga cenderung lebih tradisional dengan pemahaman agama
Islam yang rata-rata masih kurang maju dibandingkan dengan penduduk kota,
terutama masyarakat Gunungkidul yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Program
kristenisasi yang kian marak di sana juga menjadi perhatian khusus yang
menjadikan Gunungkidul seperti “Zona Merah” yang wajib dijangkau oleh peserta
MH. Karena itulah Gunungkidul selalu mendapat jatah muballigh yang banyak
ketika ada program MH. Sebuah sasaran yang tepat, karena memang program MH
seharusnya diprioritaskan untuk daerah-daerah yang benar-benar membutuhkan
muballigh seperti Gunungkidul.
Saya termasuk
orang yang beruntung karena berkesempatan untuk mengikuti MH di Gunungkidul.
Ya, pengalaman MH pertama, saya langsung ditempatkan di Gunungkidul. Memang,
Gunungkidul seperti menjadi lokasi utama para peserta MH dari PUTM, karena
biasanya jumlah mahasiswa PUTM yang MH di Gunungkidul lebih banyak dibanding
dengan daerah lain. Gunungkidul juga sepertinya menjadi tempat MH favorit
mahasiswa PUTM. Terbukti dengan banyaknya kakak-kakak kelas yang pernah
merasakan MH di sana dan mengatakan senang, respon masyarakatnya luar biasa,
dan komentar-komentar positif lain seputar MH di Gunungkidul, walaupun ada juga
yang menceritakan beberapa hal yang tidak mengenakkan dari MH di Gunungkidul
seperti lokasi yang terpencil, tidak ada sinyal, sepi, krisis air,
disuruh-suruh oleh tuan rumah dan sebagainya. Akan tetapi hal itu menurutku
adalah warna-warni dari kegiatan MH di Gunungkidul yang akan menjadi cerita
yang menarik setelah selesai nanti. Cerita-cerita dan informasi dari para
senior saya yang lebih dahulu merasakan sensasi MH di Gunungkidul tersebut
membuat saya lebih siap dan lebih ada bayangan mengenai bagaimana MH di sana
nanti dan apa yang harus dilakukan, selain juga ada pengarahan dari pengurus
PDM Gunungkidul yang menjelaskan kondisi alam dan masyarakat di sana supaya
para peserta MH benar-benar siap menghadapi segala situasi ketika MH di
Gunungkidul.
Setelah mengikuti
pelatihan MH selama tiga hari di UNIRES UMY, para peserta MH pun siap untuk
diterjunkan ke lokasi MH masing-masing. Tidak seperti biasanya, pada MH kali
ini jumlah mahasiswa PUTM yang ditempatkan di Gunungkidul jauh lebih sedikit
dari tahun-tahun sebelumnya, yakni hanya sepuluh orang (enam orang dari PUTM
Putri dan empat orang dari PUTM Putra) termasuk saya. Kami bersepuluh berangkat
menuju Gunungkidul dengan menggunakan angkutan umum, yaitu bus jurusan
Jogja-Wonosari (ongkos transport sudah ditanggung PWM,, hehe). Tujuan pertama
kami di Gunungkidul adalah PDM Gunungkidul di mana semua peserta MH yang
ditempatkan daerah Gunungkidul harus berkumpul di sana dulu sebelum selanjutnya
diterjunkan ke berbagai penjuru dan pelosok Gunungkidul. Perjalanan dari UNIRES
hingga sampai ke Gunungkidul memakan waktu kurang lebih dua jam. Setelah
melewati perjalanan yang cukup panjang, naik turun bukit dan menembus hutan,
akhirnya sampai juga di Gunungkidul, tepatnya di komplek Masjid al-Ikhlas,
Wonosari. Dari situ kami berjalan sekitar seratus meter menuju SMK Muhammadiyah
Wonosari, tempat berkumpul seluruh peserta MH sebelum ditempatkan ke desa-desa.
Setelah berkumpul dan acara pembukaan MH selesai akhirnya tiba juga waktunya
penerjunan ke lokasi-lokasi MH. Saya mendapat jatah MH di Desa Gunung Cilik,
kelurahan Watu Gajah, kecamatan Gedangsari, Gunungkidul.
Oke, pengalaman MH
pertama pun dimulai hari ini. Saya dijemput oleh ketua PRM Watugajah, Pak Sarno
dengan menggunakan motornya. Sambil membonceng Pak Sarno dengan membawa tas
yang cukup berat berisikan bekal untuk keperluan MH, saya siap untuk memulai
pengalaman MH di tempat yang jujur baru pertama kali saya datangi. Saya hanya
mengikuti saja mau ke mana Pak Sarno membawa saya, karena memang saya sama
sekali tidak mengetahui tempat-tempat di Gunungkidul, apalagi yang terpencil
seperti lokasi MH saya ini. Perjalanan dari Wonosari menuju lokasi MH saya
dapat dikatakan sangat panjang dan melelahkan, karena selain jaraknya yang
jauh, medan yang dilewati pun cukup ekstrem. Selain harus menyusuri jalan-jalan
kecil, masuk ke puluhan gang sempit dan persimpangan, tanjakan dan turunan yang
curam dengan tepian jurang yang mengerikan, cuaca panas yang menyengat siang
itu juga seperti menambah berat perjalanan. Entah sudah berapa jauh jarak yang
ditempuh, dalam hati saya bertanya-tanya, “kenapa gak nyampe-nyampe ya?”.
Semakin jauh, jalan yang dilewati semakin kecil, semakin masuk ke gang-gang
sempit, membuat saya yang sendiri dan tidak tahu apa-apa mengenai tempat ini
menjadi semakin pasrah saja sambil bergumam dalam hati, “mau dibawa ke mana
saya ini?” Haha.
Setelah melalui
perjalan panjang selama beberapa jam, akhirnya sampai juga di tempat MH saya,
tepatnya di rumah Pak Sarno. Beliau memang sudah beberapa kali menjadi tuan
rumah peserta MH dari PUTM. Sebelumnya juga sudah ada kakak kelas saya yang
juga pernah MH di desa ini dan menginap di rumah Pak Sarno. Alhamdulillah,
sampai juga di lokasi MH. Perjalanan dari Wonosari menuju tempat MH ini sangat
melelahkan, bahkan membuat perutku sakit karena jalanan yang naik turun dan
berkelok-kelok.
Ya, inilah tempat
MH saya, dusun Gunungcilik, kelurahan Watugajah, kecamatan Gedangsari,
Gunungkidul. Saya tinggal di rumah Pak Sarno yang merupakan ketua PRM Watugajah
dan juga pemuka di desa tersebut. Dia sering menjadi Imam shalat jamaah di
masjid desa sekaligus memberi tausiah kepada masyarakat. Orangnya sangat baik
dan ramah, bahkan walaupun saya baru mengenalnya, kami sudah langsung akrab dan
seperti sudah kenal lama. Beliau tinggal bersama istri dan dua orang anaknya.
Anak pertama laki-laki berumur sekitar 10 tahun dan anak kedua perempuan
sekitar 4 tahun. Sambutan mereka juga sangat hangat, walaupun saya adalah
“orang asing” di sini.
Jika saya diminta
menyebutkan satu kata ketika pertama kali sampai di desa Gunungcilik ini,
jawabannya adalah “sepi”. Ya, betapa tidak, di siang hari seperti ini jarang
sedikit sekali orang yang lewat, apalagi rumah Pak Sarno yang letaknya di ujung
desa dekat persawahan, makin sepi. Sesampainya di rumah Pak Sarno saya
meletakkan barang-barang saya di kamar yang telah disediakan. Kamar yang cukup
luas untuk ditempati satu orang, selain itu juga nyaman. Kemudian saya keluar
dan duduk di kursi teras rumah menikmati kesendirian ini, sambil melihat
pemandangan sekitar rumah yang tandus, panas dan sepi. Itulah gambaran kecil
desa Gunungcilik ini. Benar-benar sepi karena sinyal juga susah di sini.
Saya kira saya
sendiri di sini, ternyata beberapa jam kemudian teman saya Waskito datang.
Rupanya dia juga mendapat tempat di desa Gunungcilik dan akan tinggal di rumah
Pak Sarno. Jujur perasaan saya saat itu sangat senang karena ada teman di
tempat yang asing ini.
Hari pertama MH
belum masuk bulan Ramadhan, kami pun hanya mengisi waktu dengan berdiam di
rumah. Barulah setelah maghrib kami diajak Pak Sarno untuk berjamaah menuju
masjid terdekat. Jarak masjid terdekat dari rumah Pak Sarno sekitar seratus
meter, dan itu adalah satu-satunya masjid di desa gunungcilik. Jalan dari rumah
menuju masjid sangat gelap tanpa lampu penerang, membuat kami harus
berhati-hati agar tidak terjatuh atau tersesat.
Sesampainya di masjid kami disambut oleh jamaah dan anak-anak yang ada.
Sambutan mereka sangat hangat dan menyenangkan hati. Setelah selesai salat
maghrib kami pun diperkenalkan ke jamaah. Mereka begitu tertarik dan antusias
dengan perkenalan kami. Setelah itu kami pun mengisi kultum dan mereka
memperhatikan dengan seksama. Benar-benar suasana yang menyejukkan hati melihat
jamaah yang begitu antusias dan semangat untuk mendengarkan ceramah. Kondisi
masyarakat di desa Gunungcilik memang seperti kekurangan sosok ustad dan Imam.
Orang yang biasa menjadi Imam, memberi ceramah dan mengajari mereka mengaji
hanyalah Pak Sarno. Sesekali juga datang muballigh dari luar, tapi waktunya
tidak pasti, seminggu sekali juga belum tentu. Selain itu tempat-tempat mengaji
agama seperti TPA juga tidak berjalan dengan optimal,karena itu pendidikan
agama anak-anak kurang maksimal. Kondisi yang menurut saya sangat
memprihatinkan. Mereka kekurangan muballigh padahal mereka sangat antusias
untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Sepulangnya dari
masjid kami diajak menuju rumah kepala dusun. Di sana kami juga disambut dengan
sangat hangat. Ternyata benar yang diceritakan teman-teman yang pernah MH di
Gunungkidul bahwa masyarakatnya itu sangat ramah dan semangat mereka untuk mendalami
agama sangat tinggi, sayangnya mereka kekurangan muballigh yang dapat
menyejukkan dahaga mereka akan ilmu agama.
Malam berikutnya
terdapat kejadian yang cukup mengejutkanku. Saya kira saya akan MH di desa ini
sampaiselesai dua puluh lima hari nanti. Ternyata saya harus dipindah ke desa
lain yang katanya jauh lebih membutuhkan muballigh, yaitu desa Sumbersari,
kelurahan Watugajah, kecamatan Gedangsari, Gunungkidul. Saya pun menerimanya
karena memang yang lebih membutuhkan itulah yang harus diutamakan. Saya dijemput
oleh tiga orang dari desa Sumbersari menggunakan motor mereka. setelah
mengemasi barang-barang saya dan berpamitan, saya pun iku mereka ke Desa
Sumbersari.
Walaupun masih satu kelurahan, namun jarak
dari desa Watugajah menuju desa Sumbersari cukup jauh. Jalanan sepanjang
Watugajah menuju Sumbersari pun gelap gulita tanpa lampu penerang. Sesampainya
di desa Sumbersari saya diantar menuju rumah di ujung desa, itulah rumah tempat
menginap saya selama MH di Sumbersari. Tuan rumahnya bernama ibu Sukisni,
beliau adalah janda yang hanya tinggal dirumah bersama seorang anak
laki-lakinya yang seumuran dengan saya bernama Rosit. Mereka sangat “welcome”
dengan kedatangan saya. Benar benar sambutan yang menyenangkan hati.
Pagi harinya
tepatnya setelah shalat subuh saya berkenalan dengan warga. Sambutan mereka
sangat antusias. Bahkan warga yang dipimpin oleh ketua RT mereka sampai
berdiskusi untuk membuat acara-acara selama saya berada di sini. Sambutan
masyarakat Sumbersari memang luar biasa. Saya diperlakukan seperti seorang
artis yang apabila lewat selalu ada yang memanggil dan menyapa (hahaha), bahkan
sering sekali ada yang menyuruhku untuk mampir ke rumahnya, berbuka di sana,
bahkan menginap di sana. Mereka benar-benar menganggap saya seperti keluarga
mereka hingga kami benar-benar dekat.
Sehabis salat
subuh saya pun memutuskan untuk jalan-jalan melihat keadaan sekitar desa ini. Tidak
jauh berbeda dengan desa Watugajah, kondisi alamnya sama-sama tandus dan panas.
Sumber air sebagian besar berasal dari sumur yang digali di dekat rumah, dan
airnya tak sesegar air di pegunungan (seperti Kaliurang). Sawah-sawah juga
jarang ditanami padi karena drainase yang sulit. Warga setempat lebih memiih
menanami lahan pertanian mereka dengan tanaman tebu yang tidak membutuhkan
banyak pengairan. Desa sumbersari terletak di perbatasan Gunungkidul-Klaten.
Jarak dari desa ini menuju kota Wonosari lebih jauh daripada ke kota Klaten
bahkan kota Jogja. Karena ituwarga lebih banyak menggantungkan kebutuhan hidup
mereka pada Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bukan Gunungkidul. Letak desa ini
juga sangat terpencil dan jauh dari jalan utama yang biasa dilewati oleh
kendaraan pada umumnya.
Kondisi masyarakat
desa Sumbersari tidak jauh beda dengan desa Watugajah. Bahkan eksistensi dakwah
Islam di sana lebih memprihatinkan. Mereka tidak mempunyai seorang pun imam
atau ustad untuk memimpin salat jamaah mereka, memberikan nasihat agama maupun mengajarkan
pengetahuan agama kepada mereka. Ada satu masjid di desa tersebut bernama
Masjid an-Nuur yang mereka urusi bersama dan mereka gunakan untuk salat
berjamaah dengan imam seadanya yang bacaan al-Qur’annya masih sangat kurang.
Salat Jumat pun mereka lakukan di masjid tersebut dengan khatib seadanya. Tidak
ada aktivitas ceramah maupun kultum sehabis salat kecuali jika ada muballigh
dari luar desa yang biasanya datang seminggu sekali. Mereka juga tidak memiliki
TPA untuk mengajarkan anak-anak mereka mengaji dan membaca al-Qur’an sehingga
siapa pun yang ingin belajar mengaji harus pergi ke luar desa. Permasalahan
yang paling pokok adalah di desa tersebut tidak ada satu orang pun muballigh
atau ustad untuk membimbing mereka, menyadarkan dan mengingatkan mereka, menuntun
mereka menuju kehidupan beragama yang lurus dan benar, serta menjawab segala
keraguan dan kebingungan mereka tentang agama, sehingga mereka menjadi
masyarakat yang awam dalam hal agama. Hal ini sangat memprihatinkan di mana
orang-orang tua dan pemuda di desa tersebut jarang yang bisa membaca al-Qur’an
dengan benar, pendidikan agama yang mereka terima sangat kurang, begitu pun
dengan anak-anak mereka, padahal mereka memiliki kemauan dan semangat yang
sangat kuat untuk mempelajari agama dan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman mereka terhadap agama Islam. Masyarakat di desa Sumbersari tersebut
masih awam dalam hal agama. Mereka juga tidak memiliki fanatisme dalam satu
agama seperti antara NU dengan Muhammadiyah, Rifa’iyah dan sebagainya. Tidak jelas
oraganisasi atau “mazhab” mana yang mereka ikuti, entah itu Muhammadiyah, NU,
Salafi, atau yang lain. Sepertinya mereka tidak begitu memikirkan hal itu,
karena yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa beribadah dengan
benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw tanpa begitu peduli terhadap
masalah perbedaan-perbedaan mazhab dan pendapat yang ada. Hal ini
menjadikanmereka “welcome” dan menerima saja terhadap dakwah yang diberikan
oleh ulama manapun, baik dari NU, Muhammadiyah dan yang lainnya. Walaupun jika
dilihat dari tatacara beribadah mereka, mereka lebih cenderung ke Muhammadiyah.
Gunungkidul
merupakan daerah yang rawan akan program kristenisasi, tidak terkecuali desa
Sumbersari ini yang pernah didatangi oleh KKN dari salah satu universitas
Kristen di Yogyakarta. Alhamdulillah akidah mereka masih kuat sehingga mereka
langsung menolak dakwah kristen tersebut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian
lebih bagi umat Islam di mana di berbagai penjuru banyak masyarakat Islam yang
awam menjadi ladang subur bagi program kristenisasi dan pemurtadan.
Kesadaran beragama
masyarakat Sumbersari masih rendah. Contohnya masih banyak orang yang
meninggalkan salat dan lebih memilih mengurusi ladang, binatang ternak, maupun
urusan dunia mereka yang lain. Banyak juga warga yang belum menyadari kewajiban
puasa pada bulan Ramadhan. Terbukti ketika kerja bakti di masjid maupun
lingkungan di pagi hingga siang hari bulan Ramadhan, mereka menyediakan teh dan
makanan untuk orang yang bekerja tersebut. Bahkan sepertinya beberapa orang
tanpa malu memperlihatkan bahwa mereka tidak puasa seperti makan, minum dan
merokok di depan umum. Anehnya, tidak ada orang yang menegur dan memperingatkan
mereka. itulah potret miris kehidupan beragama di desa Sumbersari. Penyebabnya
adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap agama serta tidak adanya sosok imam
di desa tersebut yang mampu membimbing mereka. Peran seorang ustadsangat
sectral bagi mereka. Mereka sangat membutuhkan dan bergantung pada seorang
ustad yang memimpin dan membimbing mereka. contoh kecil dari hal tersebut
adalah ketika selama MH saya selalu menjadi imam salat berjamaah di masjid
mereka. Pernah satu waktu ketika saya berkunjung ke tempat MH teman saya dan
salat dzuhur di sana, jamaah masjid di desa Sumbersari tidak jadi salat
berjamaah dan memutuskan untuk salat sendiri-sendiri padahal mereka sudah
berkumpul di masjid dengan alasan tidak ada imamnya. Sungguh gambaran yang
jelas betapa mereka benar-benar membutuhkan sosok seorang imam yang
mumpunidalam agama Islam.
Selama MH di desa
Sumbersari, jadwal saya benar-benar padat. Saya diberi amanah untuk mengisi
semua kegiatan seperti menjadi imam shalat lima waktu dan shalat tarawih,
kultum sehabis salat tarawih dan sehabis salat subuh, khutbah jumat, pengajian
ibu-ibu, tadarus malam dan mengajar TPA. Kegiatan tersebut rutin dilakukan
selama saya MH di desa tersebut.
Jamaah di masjid
an-Nuur Sumbersari memang tidak terlalu banyak. Hanya ada sekitar 15 orang
laki-laki dan 20 orang perempuan tiap salat isya dan tarawih. Itu adalah jika
jamaahnya banyak. Tentu pada salat subuh jumlahnya berkurang. Apalagi pada
salat dzuhur dan ashar, jamaahnya menyusut drastis menjadi satu orang laki-laki
(ditambah saya sebagai imam) dan empat orang perempuan. Setiap kali masuk waktu
salat, sayalah yang menjadi muadzin sekaligus imam. Kadang-kadang ada yang
menggantikan saya menjadi muadzin, tapi itu jarang, bahkan sering juga saya
sendiri yang harus adzan sekaligus iqamat dan menjadi imam karena tidak ada
jamaah laki-laki lain.
Antusiasme
masyarakat erhadap kedatangan saya sebagai muballigh hijrah memang sangat
tinggi. Tiap kali saya mengisi ceramah, mereka selalu memperhatikan dengan
seksama. Materi ceramah yang saya sampaikan tidak muluk-muluk karena
menyesuaikan dengan tingkat penerimaan mereka. sebagian besar materi yang saya
sampaikan adalah tentang akidah, ahlak, tatacara ibadah dan muamalah, serta targhib
wat tarhib dan kisah-kisah yang penuh ibrah karena materi tersebutlah yang
mudah diterima oleh mereka, yaitu materi pokok agam Islam yang mudah, penting
dan mendasar yang sesuai dengan tingkat penerimaan mereka, bukan materi yang
tinggi dan sepertinya kurang cocok disampaikan kepada mereka, bahkan dapat
membingungkan mereka. Bahasa yang saya gunakan juga harus menyesuaikan mereka,
tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan bahasa ilmiah yang tinggi.
Bahkan seringkali saya menggunakan bahasa jawa agar lebih mudah mereka pahami.
Ceramah yang saya sampaikan juga tidak terlalu lama dan berbelit-belit karena
masyarakat akan bosan jika ceramah terlalu lama sehingga perhatian mereka akan
berkurang bahkan menghilang sehingga ceramah dilakukan sebisa mungkit singkat
dan mengena. Mereka juga sangat tertarik dengan ceramah-ceramah yang ada unsur
humornya sehingga sekali-kali saya harus “ngelawak” ditengah ceramah supaya
jamaahnya tidak bosan dan ngantuk. Itulah beberapa cara yang saya tempuh dalam
menyampaikan ceramah di tengah masyarakat Sumbersari. Tidak ada kendala berarti
dalam menyampaikan ceramah tersebut, hanya terkadang saya bingung untuk menentukan
topik dan materi apa yang harus disampaikan, karena saya mengisi ceramah hingga
empat kali setiap harinya karena tidak ada yang menggantikan saya, dan itu
tentu membutuhkan banyak materi, terutama materi yang sesuai dan bisa menarik
perhatian mereka. Di luar kendala kecil tersebut, alhamdulillah semua berjalan
lancar dan tanggapan masyarakat Sumbersari juga sangat baik.
Program
selanjutnya yang saya laksanakan ketika MH adalah mengisi pengajian ibu-ibu.
Pengajian ibu-ibu tersebut diadakan dua kali seminggu yaitu setiap hari Selasa
dan Jumat dari jam satu siang sampai menjelang ashar. Pada pengajian tersebut
materi yang saya sampaikan lebih banyak membahas masalah ibadah dan tata
caranya, terutama yang disebutkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,
selain sekali-kali saya juga menyinggung tentang ahlak. Di situ saya juga
membuka forum tanya jawab dan konsultasi agama. Ternyata tanggapan mereka luar
biasa. Mereka begitu semangat dalam mendengarkan apa yang saya sampaikan dan antusias untuk bertanya sehingga terjadilah
tanya jawab dan diskusi agama yang menarik dan tentunya sangat bermanfaat.
Kendala kecil yang dihadapi mungkin karena siang hari adalah waktu mereka untuk
beraktivitas jadi terkadang cukup banyak ibu-ibu yang tidak bisa mengikuti
pengajian tersebut. Di luar itu alhamdulillah program ini berjalan lancar.
Program
selanjutnya adalah TPA yang diadakan setiap hari kecuali Selasa dan Jumat dari
jam empat sampai jam lima sore bertempat di masjid an-Nuur. Program TPA
tersebut merupakan inisiatif warga dengan mengumpulkan anak-anak di Sumbersari
untuk mengaji dan baru diadakan semenjak saya datang ke desa tersebut. Jumlah
pesertanya memang sedikit, hanya sekitar belasan, terdiri dari golongan usia
yang bertingkat mulai dari tiga hingga 13 tahun. Kegiatan dimulai dengan
membaca al-Qur’an dan buku iqra’ maupun juz ‘amma tergantung tingkatan
masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan ceramah. Mereka cukup bersemangat
dan serius dalam belajar membace al-Qur’an. Ada beberapa kendala yang saya hadapi
dalam program TPA ini antara lain kurangnya fasilitas penunjang seperti papan
tulis, sehingga hanya mengandalkan ceramah secara oral saja tanpa ada media
yang lebih mendukung, hal ini juga membuat perhatian anak-anak TPA kurang,
banyak dari mereka yang bicara sendiri dan tidak mendengarkan ketika saya
sedang berceramah. Kendala selanjutnya yaitu jumlah mereka yang hanya belasan,
akan tetapi terdiri dari variasi umur yang beragam, mulai dari 3 sampai dengan
13 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam hal materi di
mana saya harus memilih menyampaikan materi ceramah sesuai dengan pendengar
usia 3 sampai 13 tahun, padahal tentu pemahaman dan penalaran anak usia 3 tahun
jauh berbeda dengan yang sudah berusia 6, 10, bahkan 13 tahun. Karena jumlahnya
yang sedikit dan waktu serta penceramah yang hanya saya seorang, tidak mungkin
dilakukan pengelompokan usia, jadi semua bercampur dari yang paling kecil
sampai yang paling tua. Padahal agar pembelajaran dapat efektif, seharusnya
mereka dipisahkan berdasarkan tingkat usia dan penalaran masing-masing, apa
daya itu tidak dapat dilakukan di TPA Sumbersari yang memang dadakan dan
seadanya ini.
Program lain
ketika saya MH di Sumbersari adalah tadarus bersama sehabis shalat tarawih.
Tidak hanya pemuda, orang tua pun saya ajak. Pada hari-hari pertama memang
semangat mereka cukup tinggi, akan tetapi hari-hari selanjutnya semangat mereka
semakin menurun hingga jumlah jamaah yang ikut tadarus terus berkurang dan
akhirnya habis. Tinggal saya yang tadarus sendiri di masjid. Dari pemuda-pemuda
yang ikut tadarus tersebut, sebenarnya mereka sudah ada dasar untuk bisa
membaca al-Qur’an. Hanya saja mereka kurang mendapat bimbingan dan pelajaran
tentang tajwid dan ketentuan-ketentuan membaca al-Qur’an yang benar sehingga
banyak dari mereka yang salah-salah dalam membaca al-Qur’an, baik dari segi
tajwid, makhraj, panjang pendek, maupun yang lainnya.
Itulah beberapa
program selama saya MH di desa Sumbersari. Hingga tiba waktunya untuk berpisah,
setelah kurang lebih dua puluh lima hari berdakwah di desa ini. Malam hari
sebelum saya pulang, mereka mengadakan acara perpisahan dengan saya. Acara
tersebut diisi dengan sambutan dari ketua Rt, perwakilan jamaah dan saya
sendiri, dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan salam dari warga. Aca
perpisahan tersebut berlalu penuh haru. Hingga pagi harinya ketika saya hendak
bertolak dari desa tersebut, warga datang ke rumah sekedar memberi
kenang-kenangan dan salam diiringi dengan isak tangis mereka yang sepertinya
merasa sedih karena perpisahan ini. Setelah berpamitan dan bersalaman dengan
warga, saya pun pergi meninggalkan desa Sumbersari yang telah memberikan
kenangan luar biasa yang tak akan terlupakan. Saya diantar oleh saudara baru
saya dari Sumbersari menuju ke jogja. Pesan mereka, jangan pernah lupakan kita,
dan jika ada waktu mampir ke sini, walaupun beberapa tahun sekali. Tentu saja
saya tidak akan pernah melupakan kalian, warga Sumbersari yang sudah kuanggap
sebagai saudara sendiri. Benar-benar MH yang penuh berkah, menambah pengalaman,
pelajaran, dan keluarga. J J J
ente pernah kesana lagi bro??
BalasHapussudah lama gak ke sana lagi,,
BalasHapus