Senin, 02 Juni 2014

Cerita MH

Cerita MH-ku Di Desa Sumbersari, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Ragil
            Salah satu kegiatan rutin yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) adalah Muballigh Hijrah (MH) yang dilaksanakan setiap bulan Ramadhan selama dua puluh lima hari. MH yang merupakan program tahunan dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta ( PWM DIY) ini dilaksanakan dengan mengirim para pesertanya untuk terjun langsung berdakwah ke berbagai daerah di Provinsi DIY dan sekitarnya seperti Gunungkidul, Kulonprogo, Bantul, Sleman, Kota Yogyakarta, Klaten, dan sebagainya. Ada juga yang diterjunkan ke berbagai daerah yang mengajukan permintaan untuk didatangi peserta MH, seperti Banjarnegara, Purworejo, Batang, Pemalang, Bogor, Tulungagung, dan sebagainya.
            Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah utama sasaran MH. Hal ini tidak mengherankan karena memang jumlah ustadz dan muballigh yang ada di sana tidak sebanyak di kabupaten lain di DIY seperti Bantul, Sleman apalagi Kota Jogja. Masyarakat di sana juga cenderung lebih tradisional dengan pemahaman agama Islam yang rata-rata masih kurang maju dibandingkan dengan penduduk kota, terutama masyarakat Gunungkidul yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Program kristenisasi yang kian marak di sana juga menjadi perhatian khusus yang menjadikan Gunungkidul seperti “Zona Merah” yang wajib dijangkau oleh peserta MH. Karena itulah Gunungkidul selalu mendapat jatah muballigh yang banyak ketika ada program MH. Sebuah sasaran yang tepat, karena memang program MH seharusnya diprioritaskan untuk daerah-daerah yang benar-benar membutuhkan muballigh seperti Gunungkidul.
            Saya termasuk orang yang beruntung karena berkesempatan untuk mengikuti MH di Gunungkidul. Ya, pengalaman MH pertama, saya langsung ditempatkan di Gunungkidul. Memang, Gunungkidul seperti menjadi lokasi utama para peserta MH dari PUTM, karena biasanya jumlah mahasiswa PUTM yang MH di Gunungkidul lebih banyak dibanding dengan daerah lain. Gunungkidul juga sepertinya menjadi tempat MH favorit mahasiswa PUTM. Terbukti dengan banyaknya kakak-kakak kelas yang pernah merasakan MH di sana dan mengatakan senang, respon masyarakatnya luar biasa, dan komentar-komentar positif lain seputar MH di Gunungkidul, walaupun ada juga yang menceritakan beberapa hal yang tidak mengenakkan dari MH di Gunungkidul seperti lokasi yang terpencil, tidak ada sinyal, sepi, krisis air, disuruh-suruh oleh tuan rumah dan sebagainya. Akan tetapi hal itu menurutku adalah warna-warni dari kegiatan MH di Gunungkidul yang akan menjadi cerita yang menarik setelah selesai nanti. Cerita-cerita dan informasi dari para senior saya yang lebih dahulu merasakan sensasi MH di Gunungkidul tersebut membuat saya lebih siap dan lebih ada bayangan mengenai bagaimana MH di sana nanti dan apa yang harus dilakukan, selain juga ada pengarahan dari pengurus PDM Gunungkidul yang menjelaskan kondisi alam dan masyarakat di sana supaya para peserta MH benar-benar siap menghadapi segala situasi ketika MH di Gunungkidul.
            Setelah mengikuti pelatihan MH selama tiga hari di UNIRES UMY, para peserta MH pun siap untuk diterjunkan ke lokasi MH masing-masing. Tidak seperti biasanya, pada MH kali ini jumlah mahasiswa PUTM yang ditempatkan di Gunungkidul jauh lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya, yakni hanya sepuluh orang (enam orang dari PUTM Putri dan empat orang dari PUTM Putra) termasuk saya. Kami bersepuluh berangkat menuju Gunungkidul dengan menggunakan angkutan umum, yaitu bus jurusan Jogja-Wonosari (ongkos transport sudah ditanggung PWM,, hehe). Tujuan pertama kami di Gunungkidul adalah PDM Gunungkidul di mana semua peserta MH yang ditempatkan daerah Gunungkidul harus berkumpul di sana dulu sebelum selanjutnya diterjunkan ke berbagai penjuru dan pelosok Gunungkidul. Perjalanan dari UNIRES hingga sampai ke Gunungkidul memakan waktu kurang lebih dua jam. Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, naik turun bukit dan menembus hutan, akhirnya sampai juga di Gunungkidul, tepatnya di komplek Masjid al-Ikhlas, Wonosari. Dari situ kami berjalan sekitar seratus meter menuju SMK Muhammadiyah Wonosari, tempat berkumpul seluruh peserta MH sebelum ditempatkan ke desa-desa. Setelah berkumpul dan acara pembukaan MH selesai akhirnya tiba juga waktunya penerjunan ke lokasi-lokasi MH. Saya mendapat jatah MH di Desa Gunung Cilik, kelurahan Watu Gajah, kecamatan Gedangsari, Gunungkidul.
            Oke, pengalaman MH pertama pun dimulai hari ini. Saya dijemput oleh ketua PRM Watugajah, Pak Sarno dengan menggunakan motornya. Sambil membonceng Pak Sarno dengan membawa tas yang cukup berat berisikan bekal untuk keperluan MH, saya siap untuk memulai pengalaman MH di tempat yang jujur baru pertama kali saya datangi. Saya hanya mengikuti saja mau ke mana Pak Sarno membawa saya, karena memang saya sama sekali tidak mengetahui tempat-tempat di Gunungkidul, apalagi yang terpencil seperti lokasi MH saya ini. Perjalanan dari Wonosari menuju lokasi MH saya dapat dikatakan sangat panjang dan melelahkan, karena selain jaraknya yang jauh, medan yang dilewati pun cukup ekstrem. Selain harus menyusuri jalan-jalan kecil, masuk ke puluhan gang sempit dan persimpangan, tanjakan dan turunan yang curam dengan tepian jurang yang mengerikan, cuaca panas yang menyengat siang itu juga seperti menambah berat perjalanan. Entah sudah berapa jauh jarak yang ditempuh, dalam hati saya bertanya-tanya, “kenapa gak nyampe-nyampe ya?”. Semakin jauh, jalan yang dilewati semakin kecil, semakin masuk ke gang-gang sempit, membuat saya yang sendiri dan tidak tahu apa-apa mengenai tempat ini menjadi semakin pasrah saja sambil bergumam dalam hati, “mau dibawa ke mana saya ini?” Haha.
            Setelah melalui perjalan panjang selama beberapa jam, akhirnya sampai juga di tempat MH saya, tepatnya di rumah Pak Sarno. Beliau memang sudah beberapa kali menjadi tuan rumah peserta MH dari PUTM. Sebelumnya juga sudah ada kakak kelas saya yang juga pernah MH di desa ini dan menginap di rumah Pak Sarno. Alhamdulillah, sampai juga di lokasi MH. Perjalanan dari Wonosari menuju tempat MH ini sangat melelahkan, bahkan membuat perutku sakit karena jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok.
            Ya, inilah tempat MH saya, dusun Gunungcilik, kelurahan Watugajah, kecamatan Gedangsari, Gunungkidul. Saya tinggal di rumah Pak Sarno yang merupakan ketua PRM Watugajah dan juga pemuka di desa tersebut. Dia sering menjadi Imam shalat jamaah di masjid desa sekaligus memberi tausiah kepada masyarakat. Orangnya sangat baik dan ramah, bahkan walaupun saya baru mengenalnya, kami sudah langsung akrab dan seperti sudah kenal lama. Beliau tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Anak pertama laki-laki berumur sekitar 10 tahun dan anak kedua perempuan sekitar 4 tahun. Sambutan mereka juga sangat hangat, walaupun saya adalah “orang asing” di sini.
            Jika saya diminta menyebutkan satu kata ketika pertama kali sampai di desa Gunungcilik ini, jawabannya adalah “sepi”. Ya, betapa tidak, di siang hari seperti ini jarang sedikit sekali orang yang lewat, apalagi rumah Pak Sarno yang letaknya di ujung desa dekat persawahan, makin sepi. Sesampainya di rumah Pak Sarno saya meletakkan barang-barang saya di kamar yang telah disediakan. Kamar yang cukup luas untuk ditempati satu orang, selain itu juga nyaman. Kemudian saya keluar dan duduk di kursi teras rumah menikmati kesendirian ini, sambil melihat pemandangan sekitar rumah yang tandus, panas dan sepi. Itulah gambaran kecil desa Gunungcilik ini. Benar-benar sepi karena sinyal juga susah di sini.
            Saya kira saya sendiri di sini, ternyata beberapa jam kemudian teman saya Waskito datang. Rupanya dia juga mendapat tempat di desa Gunungcilik dan akan tinggal di rumah Pak Sarno. Jujur perasaan saya saat itu sangat senang karena ada teman di tempat yang asing ini.
            Hari pertama MH belum masuk bulan Ramadhan, kami pun hanya mengisi waktu dengan berdiam di rumah. Barulah setelah maghrib kami diajak Pak Sarno untuk berjamaah menuju masjid terdekat. Jarak masjid terdekat dari rumah Pak Sarno sekitar seratus meter, dan itu adalah satu-satunya masjid di desa gunungcilik. Jalan dari rumah menuju masjid sangat gelap tanpa lampu penerang, membuat kami harus berhati-hati agar tidak terjatuh atau tersesat.  Sesampainya di masjid kami disambut oleh jamaah dan anak-anak yang ada. Sambutan mereka sangat hangat dan menyenangkan hati. Setelah selesai salat maghrib kami pun diperkenalkan ke jamaah. Mereka begitu tertarik dan antusias dengan perkenalan kami. Setelah itu kami pun mengisi kultum dan mereka memperhatikan dengan seksama. Benar-benar suasana yang menyejukkan hati melihat jamaah yang begitu antusias dan semangat untuk mendengarkan ceramah. Kondisi masyarakat di desa Gunungcilik memang seperti kekurangan sosok ustad dan Imam. Orang yang biasa menjadi Imam, memberi ceramah dan mengajari mereka mengaji hanyalah Pak Sarno. Sesekali juga datang muballigh dari luar, tapi waktunya tidak pasti, seminggu sekali juga belum tentu. Selain itu tempat-tempat mengaji agama seperti TPA juga tidak berjalan dengan optimal,karena itu pendidikan agama anak-anak kurang maksimal. Kondisi yang menurut saya sangat memprihatinkan. Mereka kekurangan muballigh padahal mereka sangat antusias untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
            Sepulangnya dari masjid kami diajak menuju rumah kepala dusun. Di sana kami juga disambut dengan sangat hangat. Ternyata benar yang diceritakan teman-teman yang pernah MH di Gunungkidul bahwa masyarakatnya itu sangat ramah dan semangat mereka untuk mendalami agama sangat tinggi, sayangnya mereka kekurangan muballigh yang dapat menyejukkan dahaga mereka akan ilmu agama.
            Malam berikutnya terdapat kejadian yang cukup mengejutkanku. Saya kira saya akan MH di desa ini sampaiselesai dua puluh lima hari nanti. Ternyata saya harus dipindah ke desa lain yang katanya jauh lebih membutuhkan muballigh, yaitu desa Sumbersari, kelurahan Watugajah, kecamatan Gedangsari, Gunungkidul. Saya pun menerimanya karena memang yang lebih membutuhkan itulah yang harus diutamakan. Saya dijemput oleh tiga orang dari desa Sumbersari menggunakan motor mereka. setelah mengemasi barang-barang saya dan berpamitan, saya pun iku mereka ke Desa Sumbersari.
             Walaupun masih satu kelurahan, namun jarak dari desa Watugajah menuju desa Sumbersari cukup jauh. Jalanan sepanjang Watugajah menuju Sumbersari pun gelap gulita tanpa lampu penerang. Sesampainya di desa Sumbersari saya diantar menuju rumah di ujung desa, itulah rumah tempat menginap saya selama MH di Sumbersari. Tuan rumahnya bernama ibu Sukisni, beliau adalah janda yang hanya tinggal dirumah bersama seorang anak laki-lakinya yang seumuran dengan saya bernama Rosit. Mereka sangat “welcome” dengan kedatangan saya. Benar benar sambutan yang menyenangkan hati.
            Pagi harinya tepatnya setelah shalat subuh saya berkenalan dengan warga. Sambutan mereka sangat antusias. Bahkan warga yang dipimpin oleh ketua RT mereka sampai berdiskusi untuk membuat acara-acara selama saya berada di sini. Sambutan masyarakat Sumbersari memang luar biasa. Saya diperlakukan seperti seorang artis yang apabila lewat selalu ada yang memanggil dan menyapa (hahaha), bahkan sering sekali ada yang menyuruhku untuk mampir ke rumahnya, berbuka di sana, bahkan menginap di sana. Mereka benar-benar menganggap saya seperti keluarga mereka hingga kami benar-benar dekat.
            Sehabis salat subuh saya pun memutuskan untuk jalan-jalan melihat keadaan sekitar desa ini. Tidak jauh berbeda dengan desa Watugajah, kondisi alamnya sama-sama tandus dan panas. Sumber air sebagian besar berasal dari sumur yang digali di dekat rumah, dan airnya tak sesegar air di pegunungan (seperti Kaliurang). Sawah-sawah juga jarang ditanami padi karena drainase yang sulit. Warga setempat lebih memiih menanami lahan pertanian mereka dengan tanaman tebu yang tidak membutuhkan banyak pengairan. Desa sumbersari terletak di perbatasan Gunungkidul-Klaten. Jarak dari desa ini menuju kota Wonosari lebih jauh daripada ke kota Klaten bahkan kota Jogja. Karena ituwarga lebih banyak menggantungkan kebutuhan hidup mereka pada Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bukan Gunungkidul. Letak desa ini juga sangat terpencil dan jauh dari jalan utama yang biasa dilewati oleh kendaraan pada umumnya.
            Kondisi masyarakat desa Sumbersari tidak jauh beda dengan desa Watugajah. Bahkan eksistensi dakwah Islam di sana lebih memprihatinkan. Mereka tidak mempunyai seorang pun imam atau ustad untuk memimpin salat jamaah mereka, memberikan nasihat agama maupun mengajarkan pengetahuan agama kepada mereka. Ada satu masjid di desa tersebut bernama Masjid an-Nuur yang mereka urusi bersama dan mereka gunakan untuk salat berjamaah dengan imam seadanya yang bacaan al-Qur’annya masih sangat kurang. Salat Jumat pun mereka lakukan di masjid tersebut dengan khatib seadanya. Tidak ada aktivitas ceramah maupun kultum sehabis salat kecuali jika ada muballigh dari luar desa yang biasanya datang seminggu sekali. Mereka juga tidak memiliki TPA untuk mengajarkan anak-anak mereka mengaji dan membaca al-Qur’an sehingga siapa pun yang ingin belajar mengaji harus pergi ke luar desa. Permasalahan yang paling pokok adalah di desa tersebut tidak ada satu orang pun muballigh atau ustad untuk membimbing mereka, menyadarkan dan mengingatkan mereka, menuntun mereka menuju kehidupan beragama yang lurus dan benar, serta menjawab segala keraguan dan kebingungan mereka tentang agama, sehingga mereka menjadi masyarakat yang awam dalam hal agama. Hal ini sangat memprihatinkan di mana orang-orang tua dan pemuda di desa tersebut jarang yang bisa membaca al-Qur’an dengan benar, pendidikan agama yang mereka terima sangat kurang, begitu pun dengan anak-anak mereka, padahal mereka memiliki kemauan dan semangat yang sangat kuat untuk mempelajari agama dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman mereka terhadap agama Islam. Masyarakat di desa Sumbersari tersebut masih awam dalam hal agama. Mereka juga tidak memiliki fanatisme dalam satu agama seperti antara NU dengan Muhammadiyah, Rifa’iyah dan sebagainya. Tidak jelas oraganisasi atau “mazhab” mana yang mereka ikuti, entah itu Muhammadiyah, NU, Salafi, atau yang lain. Sepertinya mereka tidak begitu memikirkan hal itu, karena yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw tanpa begitu peduli terhadap masalah perbedaan-perbedaan mazhab dan pendapat yang ada. Hal ini menjadikanmereka “welcome” dan menerima saja terhadap dakwah yang diberikan oleh ulama manapun, baik dari NU, Muhammadiyah dan yang lainnya. Walaupun jika dilihat dari tatacara beribadah mereka, mereka lebih cenderung ke Muhammadiyah.
            Gunungkidul merupakan daerah yang rawan akan program kristenisasi, tidak terkecuali desa Sumbersari ini yang pernah didatangi oleh KKN dari salah satu universitas Kristen di Yogyakarta. Alhamdulillah akidah mereka masih kuat sehingga mereka langsung menolak dakwah kristen tersebut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih bagi umat Islam di mana di berbagai penjuru banyak masyarakat Islam yang awam menjadi ladang subur bagi program kristenisasi dan pemurtadan.
            Kesadaran beragama masyarakat Sumbersari masih rendah. Contohnya masih banyak orang yang meninggalkan salat dan lebih memilih mengurusi ladang, binatang ternak, maupun urusan dunia mereka yang lain. Banyak juga warga yang belum menyadari kewajiban puasa pada bulan Ramadhan. Terbukti ketika kerja bakti di masjid maupun lingkungan di pagi hingga siang hari bulan Ramadhan, mereka menyediakan teh dan makanan untuk orang yang bekerja tersebut. Bahkan sepertinya beberapa orang tanpa malu memperlihatkan bahwa mereka tidak puasa seperti makan, minum dan merokok di depan umum. Anehnya, tidak ada orang yang menegur dan memperingatkan mereka. itulah potret miris kehidupan beragama di desa Sumbersari. Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap agama serta tidak adanya sosok imam di desa tersebut yang mampu membimbing mereka. Peran seorang ustadsangat sectral bagi mereka. Mereka sangat membutuhkan dan bergantung pada seorang ustad yang memimpin dan membimbing mereka. contoh kecil dari hal tersebut adalah ketika selama MH saya selalu menjadi imam salat berjamaah di masjid mereka. Pernah satu waktu ketika saya berkunjung ke tempat MH teman saya dan salat dzuhur di sana, jamaah masjid di desa Sumbersari tidak jadi salat berjamaah dan memutuskan untuk salat sendiri-sendiri padahal mereka sudah berkumpul di masjid dengan alasan tidak ada imamnya. Sungguh gambaran yang jelas betapa mereka benar-benar membutuhkan sosok seorang imam yang mumpunidalam agama Islam.
            Selama MH di desa Sumbersari, jadwal saya benar-benar padat. Saya diberi amanah untuk mengisi semua kegiatan seperti menjadi imam shalat lima waktu dan shalat tarawih, kultum sehabis salat tarawih dan sehabis salat subuh, khutbah jumat, pengajian ibu-ibu, tadarus malam dan mengajar TPA. Kegiatan tersebut rutin dilakukan selama saya MH di desa tersebut.
            Jamaah di masjid an-Nuur Sumbersari memang tidak terlalu banyak. Hanya ada sekitar 15 orang laki-laki dan 20 orang perempuan tiap salat isya dan tarawih. Itu adalah jika jamaahnya banyak. Tentu pada salat subuh jumlahnya berkurang. Apalagi pada salat dzuhur dan ashar, jamaahnya menyusut drastis menjadi satu orang laki-laki (ditambah saya sebagai imam) dan empat orang perempuan. Setiap kali masuk waktu salat, sayalah yang menjadi muadzin sekaligus imam. Kadang-kadang ada yang menggantikan saya menjadi muadzin, tapi itu jarang, bahkan sering juga saya sendiri yang harus adzan sekaligus iqamat dan menjadi imam karena tidak ada jamaah laki-laki lain.
            Antusiasme masyarakat erhadap kedatangan saya sebagai muballigh hijrah memang sangat tinggi. Tiap kali saya mengisi ceramah, mereka selalu memperhatikan dengan seksama. Materi ceramah yang saya sampaikan tidak muluk-muluk karena menyesuaikan dengan tingkat penerimaan mereka. sebagian besar materi yang saya sampaikan adalah tentang akidah, ahlak, tatacara ibadah dan muamalah, serta targhib wat tarhib dan kisah-kisah yang penuh ibrah karena materi tersebutlah yang mudah diterima oleh mereka, yaitu materi pokok agam Islam yang mudah, penting dan mendasar yang sesuai dengan tingkat penerimaan mereka, bukan materi yang tinggi dan sepertinya kurang cocok disampaikan kepada mereka, bahkan dapat membingungkan mereka. Bahasa yang saya gunakan juga harus menyesuaikan mereka, tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan bahasa ilmiah yang tinggi. Bahkan seringkali saya menggunakan bahasa jawa agar lebih mudah mereka pahami. Ceramah yang saya sampaikan juga tidak terlalu lama dan berbelit-belit karena masyarakat akan bosan jika ceramah terlalu lama sehingga perhatian mereka akan berkurang bahkan menghilang sehingga ceramah dilakukan sebisa mungkit singkat dan mengena. Mereka juga sangat tertarik dengan ceramah-ceramah yang ada unsur humornya sehingga sekali-kali saya harus “ngelawak” ditengah ceramah supaya jamaahnya tidak bosan dan ngantuk. Itulah beberapa cara yang saya tempuh dalam menyampaikan ceramah di tengah masyarakat Sumbersari. Tidak ada kendala berarti dalam menyampaikan ceramah tersebut, hanya terkadang saya bingung untuk menentukan topik dan materi apa yang harus disampaikan, karena saya mengisi ceramah hingga empat kali setiap harinya karena tidak ada yang menggantikan saya, dan itu tentu membutuhkan banyak materi, terutama materi yang sesuai dan bisa menarik perhatian mereka. Di luar kendala kecil tersebut, alhamdulillah semua berjalan lancar dan tanggapan masyarakat Sumbersari juga sangat baik.
            Program selanjutnya yang saya laksanakan ketika MH adalah mengisi pengajian ibu-ibu. Pengajian ibu-ibu tersebut diadakan dua kali seminggu yaitu setiap hari Selasa dan Jumat dari jam satu siang sampai menjelang ashar. Pada pengajian tersebut materi yang saya sampaikan lebih banyak membahas masalah ibadah dan tata caranya, terutama yang disebutkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, selain sekali-kali saya juga menyinggung tentang ahlak. Di situ saya juga membuka forum tanya jawab dan konsultasi agama. Ternyata tanggapan mereka luar biasa. Mereka begitu semangat dalam mendengarkan apa yang saya sampaikan dan  antusias untuk bertanya sehingga terjadilah tanya jawab dan diskusi agama yang menarik dan tentunya sangat bermanfaat. Kendala kecil yang dihadapi mungkin karena siang hari adalah waktu mereka untuk beraktivitas jadi terkadang cukup banyak ibu-ibu yang tidak bisa mengikuti pengajian tersebut. Di luar itu alhamdulillah program ini berjalan lancar.
            Program selanjutnya adalah TPA yang diadakan setiap hari kecuali Selasa dan Jumat dari jam empat sampai jam lima sore bertempat di masjid an-Nuur. Program TPA tersebut merupakan inisiatif warga dengan mengumpulkan anak-anak di Sumbersari untuk mengaji dan baru diadakan semenjak saya datang ke desa tersebut. Jumlah pesertanya memang sedikit, hanya sekitar belasan, terdiri dari golongan usia yang bertingkat mulai dari tiga hingga 13 tahun. Kegiatan dimulai dengan membaca al-Qur’an dan buku iqra’ maupun juz ‘amma tergantung tingkatan masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan ceramah. Mereka cukup bersemangat dan serius dalam belajar membace al-Qur’an. Ada beberapa kendala yang saya hadapi dalam program TPA ini antara lain kurangnya fasilitas penunjang seperti papan tulis, sehingga hanya mengandalkan ceramah secara oral saja tanpa ada media yang lebih mendukung, hal ini juga membuat perhatian anak-anak TPA kurang, banyak dari mereka yang bicara sendiri dan tidak mendengarkan ketika saya sedang berceramah. Kendala selanjutnya yaitu jumlah mereka yang hanya belasan, akan tetapi terdiri dari variasi umur yang beragam, mulai dari 3 sampai dengan 13 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam hal materi di mana saya harus memilih menyampaikan materi ceramah sesuai dengan pendengar usia 3 sampai 13 tahun, padahal tentu pemahaman dan penalaran anak usia 3 tahun jauh berbeda dengan yang sudah berusia 6, 10, bahkan 13 tahun. Karena jumlahnya yang sedikit dan waktu serta penceramah yang hanya saya seorang, tidak mungkin dilakukan pengelompokan usia, jadi semua bercampur dari yang paling kecil sampai yang paling tua. Padahal agar pembelajaran dapat efektif, seharusnya mereka dipisahkan berdasarkan tingkat usia dan penalaran masing-masing, apa daya itu tidak dapat dilakukan di TPA Sumbersari yang memang dadakan dan seadanya ini.
            Program lain ketika saya MH di Sumbersari adalah tadarus bersama sehabis shalat tarawih. Tidak hanya pemuda, orang tua pun saya ajak. Pada hari-hari pertama memang semangat mereka cukup tinggi, akan tetapi hari-hari selanjutnya semangat mereka semakin menurun hingga jumlah jamaah yang ikut tadarus terus berkurang dan akhirnya habis. Tinggal saya yang tadarus sendiri di masjid. Dari pemuda-pemuda yang ikut tadarus tersebut, sebenarnya mereka sudah ada dasar untuk bisa membaca al-Qur’an. Hanya saja mereka kurang mendapat bimbingan dan pelajaran tentang tajwid dan ketentuan-ketentuan membaca al-Qur’an yang benar sehingga banyak dari mereka yang salah-salah dalam membaca al-Qur’an, baik dari segi tajwid, makhraj, panjang pendek, maupun yang lainnya.

            Itulah beberapa program selama saya MH di desa Sumbersari. Hingga tiba waktunya untuk berpisah, setelah kurang lebih dua puluh lima hari berdakwah di desa ini. Malam hari sebelum saya pulang, mereka mengadakan acara perpisahan dengan saya. Acara tersebut diisi dengan sambutan dari ketua Rt, perwakilan jamaah dan saya sendiri, dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan salam dari warga. Aca perpisahan tersebut berlalu penuh haru. Hingga pagi harinya ketika saya hendak bertolak dari desa tersebut, warga datang ke rumah sekedar memberi kenang-kenangan dan salam diiringi dengan isak tangis mereka yang sepertinya merasa sedih karena perpisahan ini. Setelah berpamitan dan bersalaman dengan warga, saya pun pergi meninggalkan desa Sumbersari yang telah memberikan kenangan luar biasa yang tak akan terlupakan. Saya diantar oleh saudara baru saya dari Sumbersari menuju ke jogja. Pesan mereka, jangan pernah lupakan kita, dan jika ada waktu mampir ke sini, walaupun beberapa tahun sekali. Tentu saja saya tidak akan pernah melupakan kalian, warga Sumbersari yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Benar-benar MH yang penuh berkah, menambah pengalaman, pelajaran, dan keluarga. J J J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar